SMA mereka bertemu pertama kali. Sosoknya bersinar di depan lapangan menjaga gawang ketika jam olah raga. Rambut panjangnya diikat kuda tinggi di atas kepalanya yang berpeluh. Hanya butuh tiga detik untuk Arkan jatuh pada pesona Rani.
Kelas sepuluh mereka tak sekelas. Arkan hanya bisa melihat Rani dari jauh. Dipaksa puas dengan menjadi seorang pengagum rahasia. Tidak ada yang tahu ia menyukai Rani, kecuali tentu saja dirinya dan Tuhan.
Kelas sebelas mereka akhirnya sekelas. Patah-patah Arkan memberanikan diri bicara dengan Rani. Menekan segala debar yang membuncah. Ia berhasil bersikap normal layaknya teman. Dipaksa puas dengan menjadi status teman sekelas. Masih tidak ada yang tahu ia menyukai Rani, kecuali Tuhan dan dirinya sendiri, sampai ...
"Kamu udah punya pacar?" Tanya Rani.
Arkan menggeleng. Cupu banget dia waktu SMA.
"Aku mau jadi pacar kamu boleh?" Tanya Rani lagi.
Sejak hari itu mereka jadian. Arkan mendadak berubah jadi cowok paling bahagia sejagat raya. Senyum lebarnya hingga kuping tidak pernah absen ketika Rani di dekatnya. Ia terus mengekor cewek itu bagai semut mengejar gula. Rasanya ogah berpisah. Pokoknya harus berdua, kayak sendal.
Arkan dengan Rani adalah cowok bucin yang iya saja apa kata pacarnya. Rani bilang ini, Arkan setuju, bilang itu, Arkan mengangguk, bilang begini, Arkan mengiyakan, bilang begitu Arkan mendukung. Sayangnya, sikap penurut ini segera menjadi racun dalam hubungan mereka.
Kelas dua belas, terang sekali Arkan melihat Rani boncengan dengan anak cowok dari sekolah sebelah. Kalau hanya sekali ia tidak akan mengernyit, ini sudah tiga kali ditambah laporan dari kawan sejawat di sekitarnya.
"Si Rani selingkuh nggak sih dari lu? Dia jalan mulu jeung si Randi! Mana pake pegangan tangan!" Celetuk temannya.
"Kamu sama Randi kenapa kok jalan terus berdua?" Tanya Arkan polos.
"Ih ya ampun. Nggak ada apa-apa kita temen aja." Rani memegang tangan Arkan. "Aku kan sama kamu pacarannya!"
"Cuih!" Salah satu teman Arkan meludah sejadi-jadinya mendengar cerita itu.
"Jangan gitu sama pacar aing, siah!" Arkan menoyor temannya.
"Kan, cinta boleh, tapi jangan tolol."
Lalu semester satu kuliah.
"Arkan, ini Rani bukan, sih?" Seorang teman menjulurkan foto seorang cewek yang sedang duduk berseberangan dengan seorang cowok yang tidak terlihat wajahnya.
Meski jelas sekali itu Rani, Arkan hanya menjawab. "Nggak tau."
"Si Rani rajin banget chat-an sama kating gua." Lapor seorang teman UKM MAPALA saat Arkan ikut kumpul walau bukan anggota.
"Kamu jangan keseringan chat dia. Gosip kamu jelek banget karena masalah ini." Arkan memperingatkan Rani.
"Siapa yang nyebar-nyebar berita nggak jelas gitu? Aku nggak pernah chat dia. Kamu kalo nggak percaya cek aja ni HP aku!" Rani marah.
Lalu semester empat.
Semester lima.
Semester tujuh.
Kejadian yang sama terus berulang.
"Arkan, kamu jangan tolol jadi cowok. Udah berapa kali dia selingkuh! Aku udah sering bilang dia itu nggak baik! Aku sebagai cewek malu sama kelakuannya!" Dewi, sepupunya, mencak-mencak menceramahi Arkan.
"Rani, kita putus, ya. Aku lepasin kamu. Silakan main sepuasnya mulai sekarang," ujar Arkan kelewat lembut.
-
Arkan mendial nomor Ran disela waktu kerjanya yang lumayan fleksibel. Tidak ada jawaban dari cewek itu. Membuat khawatir saja. Selama koas, Ran jadi super sibuk dan sulit ditemui. Mereka tidak pernah benar-benar punya waktu untuk ngobrol berdua karena tiap Ran libur, ada saja kegiatan lain. Contohnya seperti ke rumah Ran, atau ke rumah Arkan. Ya ketemu, sih, tapi nggak bisa kencan berdua.
Arkan menghela napas. Beralih pada chat room.
Arkan: makan siang bareng, yuk ...
Lima belas menit kemudian, balasan datang.
Ran: boleh, tapi nggak bisa keluar:(
Arkan tersenyum dan segera melesat ke rumah sakit di daerah Lembang. Dari pintu lobi Ran berjalan gontai. Arkan jadi sedih melihatnya.
"Haduh bu dokter lemes banget. Yuk, yuk, cepet makan, yuk." Arkan merangkul pundak Ran mengusapnya lembut.
"Makan rujak yang pedes banget enak kali ya ni ... aku ngantuk banget," ujar Ran ketika mereka sudah duduk di kafeteria rumah sakit.
Arkan membantu Ran mengaduk bakminya. Melihat poni Ran yang menutupi sebagian wajahnya, Arkan mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang berhasil membuat Ran terpingkal.
"Apaan nih?!" Ran mengangkat satu set bobby pin baru dari tangan Arkan. "Dapet di mana?"
"Di Miniso," Arkan juga tertawa geli. "Belinya minggu lalu, lupa terus mau ngasih. Ini lho poni ribet banget saya liatnya."
"Kamu ke Miniso beli ginian doang?" Tanya Ran yang kini membuka bungkusannya.
Arkan mengangguk polos. Ran terbahak puas.
"Ya ampun teteh-teteh Miniso-nya bingung lali ya liat kamu beli ginian doang satu, mana sendirian lagi ni cowok. Ih gemes. Makasih." Ran mencubit lengan Arkan yang sibuk memakan bakminya.
"Aw." Arkan mengusap tangannya. "Coba sini pake. Kamu makan dulu."
Ran menyuap bakminya dan menghadap Arkan. Cowok itu sudah meraup poninya dan menjepitnya asal dengan bobby pin, setelahnya ia terbahak.
"Maafin saya," Arkan menggenggam tangan Ran sambil menunduk dalam menahan tawa. Ia tidak kuasa melihat Ran yang sudah kusut tambah kusut karena ulahnya.
Ran tidak peduli, ikut tertawa saja. "Nggak ada kaca, ya? Sejelek itu, ya, aku? Hah?"
"Kamu makan dulu, deh, takut ada panggilan lagi, kamu malah belum makan." Arkan mendorong mangkuk bakmi di tengah meja ke depan Ran.
"Nanti malam tidur di mana?" Tanya Arkan sambil memperhatikan Ran yang makan buru-buru. Kacamata gadis itu, bertengger rapi di pucuk kepala.
"Di sini. Kapok aku pulang terus, tengah malam sering ada panggilan. Capek bolak-balik." Ponsel di saku baju jaga Ran bergetar. "Nah kan udah dipanggil lagi aja."
Arkan menyodorkan minum pada Ran yang sudah berdiri. Ia tidak lupa mengangsurkan sebuah goodie bag berisi berbagai macam camilan yang sengaja ia bawakan untuk Ran selama jaga di RS seminggu ke depan.
"Tanggung jawab!" Ran menunjuk rambutnya yang berantakan karena ulah Arkan.
Arkan tersenyum simpul, "Iya. Nanti saya nikahin."
Ran menganga, menahan geli yang menjalar. Sekuat tenaga ia memukul pundak Arkan dan kabur. Malu. Eheheee
Arkan juga geli sendiri mendengarnya, senyum lebarnya tidak bisa ditahan melihat Ran yang kabur dengan wajah memerah. Setelahnya ia segera berjalan ke kasir kafeteria.
"Bakminya satu berapa, bu?" Tanya Arkan.
Si ibu penjaga kasir mendecak dengan mata menyipit. "Asiknya yang pacaran makan bakmi semangkuk berdua. Jadi dua puluh lima ribu, den."
Arkan nyengir kuda, memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Si ibu tidak tahu saja alasan sebenarnya kenapa mereka hanya pesan satu mangkuk. []
17•01•2022
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...