Bogor, Mei 2018 ...
Ingatan Ran tentang mamanya dimulai ketika ia berumur empat tahun. Kala itu sore menyergap. Ran sedang menatapi layang-layang yang terbang jauh di langit dari teras rumahnya. Entah siapa yang menerbangkannya, namun angin yang tiba-tiba senyap membuat layang-layang itu perlahan jatuh.
“Jatuh, deh, layangannya ...” seru Sandra yang sedang memangkunya, “Yuk kita masuk, sudah sore. Ran juga harus mandi sore.”
Ran turun dari pangkuan dan segera masuk ke dalam rumah. Ia sudah berjanji akan mandi sore setelah melihat layang-layang. Hatinya kecilnya masih gundah melihat benda itu jatuh begitu saja hanya karena angin yang menghilang.
“Mama kenapa layang-layangnya jatuh tadi?” tanya Ran dengan dahi yang mengerut lucu.
“Karena anginnya nggak ada, sayang ... layang-layang kan bisa terbang kalau ada angin ...” jawab Sandra, “Ran kapan-kapan bisa coba terbangin layang-layang, nanti minta Papa untuk belikan. Mau?”
Ran nyengir lebar, tak jadi sedih karena layangan tadi jatuh, “Beli dua boleh?”
“Kenapa banyak banget? Anak mama kan cuma satu, beli satu aja buat Ran.”
“Yah ... kalau nanti jatuh terus rusak, gimana? Ran jadi nggak punya layangan.”
Sandra mencubit pipi Ran yang tembam, “Kalau gitu nanti aja beli baru lagi kalau yang satu udah rusak. Oke?”
Ran ingat kala itu, meski bibirnya mengerucut, namun ia mengangguk mengerti. Mengingat kenangan itu membuat hatinya terasa perih. Matanya terpejam dan sebulir air mata jatuh. Sandra yang masih muda dan sehat bugar dalam ingatannya itu kini terbaring koma dengan perlatan monitoring di sampingnya dan selang oksigen di hidungnya. Di depan ruang ICU ia menangkupkan tangannya, berdoa sepenuh hati agar tidak terjadi apa pun pada wanita yang paling ia cintai di dunia itu.
Sejak sampai di Bogor, tak sedetik pun Ran mampu memejamkan mata. Insomnia yang ia derita kini berguna. Begitu busnya berhenti di Terminal Baranangsiang, ia langsung melesat menuju rumah sakit tanpa mampir ke rumahnya dulu. Ran tidak punya waktu untuk hal remeh temeh seperti ganti baju, ia perlu memastikan dengan mata kepalanya sendiri secepatnya keadaan Sandra. Anjas menyambutnya dengan ekspresi pias bercampur lega, segera memberinya pelukan hangat hingga Ran tak kuasa menahan tangis.
Keluarga kecil mereka memang sering sekali cekcok soal rencana-rencana hidup Ran, namun selepas itu, mereka keluarga kecil yang cukup harmonis. Tak pernah ada kejadian besar yang membuat anggota keluarga lainnya cemas bukan kepalang. Rumah sakit juga sama sekali tidak akrab dengan mereka. Bahkan berkunjung ke Puskesmas pun bisa dihitung jari, itu pun hanya untuk berobat penyakit remeh seperti sumeng.
Gedung putih berbau alkohol ini segera saja terasa asing. Meski sudah separuh hari Ran duduk di dalamnya, ia tetap tak bisa bersahabat.
“Kamu tidur aja, biar Papa yang jaga,” kata Anjas seraya menepuk pundaknya.
Ran menggeleng, “Aku juga mau jagain Mama. Lagian belakangan ini aku insomnia.”
“Lo? Kenapa nggak cerita?”
Ran menggeleng lemah, “Nggak penting. Nanti yang ada Mama malah parno dan nyusulin ke Jatinangor.”
Anjas merangkul pundak Ran, “Berat ya kuliah Kedokteran?”
Ran tersenyum kecil, “Pelan-pelan, aku lagi belajar untuk suka sama jurusanku sekarang.”
“Maafin kita ya sebagai orang tua suka memaksa. Maafin Papa nggak bisa bela mimpi Ran … dan terima kasih sudah jadi anak baik dan berbakti …”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...