Meski rasanya mau mati menjalani kuliah sebagai mahasiswi kedokteran, namun Ran cukup menikmatinya. Yang penting kini ia bebas memutuskan apa pun sendiri tanpa campur tangan orang tuanya. Kini ia bisa keluar malam, jalan-jalan ke mana pun tanpa negosiasi alot, belajar tanpa diawasi dan paling penting bisa mandiri dengan tinggal jauh dari rumah. Kemerdekaan kecilnya ini sudah menjadi bagian dari perjanjiannya dengan Sandra setahun yang lalu.
Materi segunung yang mesti dipelajari tidak membuatnya absen ikut jadwal rutin kosan mereka menonton film di malam Sabtu. Ditambah kegiatan himpunan, kini jadwal hariannya makin padat. Ran sebisa mungkin membuat waktu belajar dan waktu mainnya seimbang. Setelah berkali-kali dinasehati oleh Shiwa, Danu dan sekali oleh Bram, Ran akhirnya terpaksa setuju bahwa kehidupan kuliah tidak boleh hanya dihabiskan untuk belajar. Bisa gila dia kalau terlalu serius.
Shiwa banyak memberinya tips dalam mengakali pembagian waktu hariannya. Sekarang ini jadwal Ran dan Shiwa hampir sama. Hanya porsi belajar mereka yang berbeda. Ran dengan otak yang tidak secemerlang Shiwa harus belajar dua kali lipat. Ia terkadang iri pada sahabatnya itu.
“Kamu juga keren kok! Pinter aja nggak cukup. Kalo nggak punya tekad nggak akan bisa ... banyak angkatan kita yang nyerah setelah setahun, tapi kamu masih di sini sampai sekarang walau ini bukan jurusan pilihan kamu." Ujar Shiwa suatu sore ketika Ran mengutarakan keiriannya.
Ran mencebik. Shiwa tidak tahu rencananya akhir semester ini. Biar saja ia tahu belakangan. Agar tidak terlalu lama sedihnya.
Dengan semua kesibukan itu, hari minggu menjadi hari yang sakral untuk Ran. Karena hanya pada hari itulah ia bisa rebahan. Dua puluh empat jam yang berharga itu ia habiskan untuk me time. Sama sekali menolak intervensi apa pun diluar "main". Ke toko buku. Melahap novel yang bulan lalu ia beli. Main ponsel. Nonton drama korea. Wisata bahari. Kulineran. Apapun yang ingin ia lakukan yang berlebel "main".
Minggu ini, demi pembaca setia yang tidak banyak di platform menulisnya, Ran melanjutkan novelnya yang lama tertunda. Layar laptop menyala terang di hadapannya. Matanya terasa perih sekali akibat terlalu lama memelototi layar. Obat tetes mata yang siap sedia menjadi andalannya.
“Kuperhatiin kamu beberapa hari belakangan pakai obat tetes terus?” Shiwa yang melihat Ran memejamkan matanya, sementara tetesan air mengalir menyeberangi pipinya, bertanya dengan nada cemas.
Ran menggeleng, “Mataku sakit. Burem gitu liat layar laptop.”
“Waiii ... sudah lama begitu?”
Ran membuka matanya, di hadapannya Shiwa berdiri dengan pakaian rapi. Buram. Sambil memicing ia melihat kembali layar laptopnya yang menyala terang. Buram. Ia mendecak menyadari bahwa obat tetes mata tidak membantu.
“Kamu mau ke mana?” tanya Ran. "Cakep banget, sih!"
“Mau ke sekre Jambi. Ada urusan sebentar.” Shiwa mendekat, memeriksa mata Ran, “Kamu ke dokter aja hari ini.”
“Kamu bisa ngantar?” tanya Ran. Ia tidak pernah ke dokter sendirian. Selalu ada Sandra bersamanya.
“Aku nggak tau selesai jam berapa. Minta tolong siapa ya, anak kos nggak ada semua. Apa mau panggil Danu?”
“Ngapain sama Danu?" Ran memasang wajah penolakan keras. "Ya udah, aku pergi sendiri, deh ... di mana, sih?”
“Di klinik kampus ada nggak ya? Rumah sakit jauh soalnya, apalagi dokter mata.”
Ran menghembuskan nafas, “Yah ... klinik kampus juga jauh! Aku harus naik angkot.”
“Ya gimana, dong? Atau mau besok aja? Nunggu Elya balik, terus kita pinjam motornya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...