Rindu dan Pertemuan Kembali

1.2K 215 5
                                    

Sabtu malam Ran menerima ajakan Bram untuk jalan keluar. Cowok itu tidak repot mengirim pesan, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di ujung tangga indekosnya, mentang-mentang indekos mereka bersebelahan.

"Temenin gue makan, yuk."

Untung saja waktunya tepat. Ran sedang senggang dan ia juga belum makan. Meski agak tidak enak pamit pada anak-anak indekos yang pas sekali sedang kumpul karena hari libur.

"Punya masalah hidup apa lu?" Tanya Ran tanpa basa-basi.

Bram mencebik. Langkahnya pelan menyusuri gang indekos mereka yang ramai. Rambutnya yang tidak ditata terbelah tengah, jatuh membingkai wajahnya yang pucat. Lampu-lampu neon panjang menjadi penerang jalan yang penuh tempat makan itu.

"Yeee ni anak ditanyanya," cibir Ran pelan.

"Gue ngajak makan apa hubungannya sama masalah hidup?"

"Ya lo nggak biasanya ngajak makan." Kini gantian Ran yang mencibir.

"Excuse me? Gue sering banget ngajak makan.  Lo aja yang baru sekarang meng-iya-kan ajakan gue." Bram menoyor kepala Ran.

Ran memutar mata di balik kaca matanya sebal. Setelahnya Ran tidak mengatakan sepatah kata pun sampai mereka tiba di kedai kesukaan Bram.

"Lo masih inget Kak Firda?" Bram mendaratkan tubuhnya di samping Ran. Tangannya sibuk menyeka meja makan di depannya dengan tisu. Wajahnya masih tertekuk. Tidak seperti biasanya, Bram tidak berpenampilan nyentrik malam ini.

"Ingetlah. Kenapa?" Ia memperhatikan Bram yang kini menyemprot desinfektan ke atas meja itu. Kening Ran mengerut. Ia sama sekali tidak punya niatan membantu ataupun menghentikan kegiatan cowok di sampingnya itu.

"Still in touch?"

Ran menggeleng pelan. Terakhir kali mereka berkabar adalah tahun lalu sebelum kepergian Sandra.

"Dia kemarin melahirkan," kata Bram tanpa menoleh karena masih sibuk dengan meja mereka.

"Demi????" Ran menoleh sepenuhnya ke arah Bram. "Kapan hamilnya???"

"Udah lama, kali, sebelum lo aneh-aneh kemarin." Bram menarik tangan Ran tak acuh dan menyemprotkan hand sanitizer di telapaknya.

"Gue nggak tau ..." gumam Ran. "Terus di mana lahirannya? Kalo deket kita tengokin, yuk."

Pramusaji datang ke meja mereka membawa senampan makanan dan minuman pesanan keduanya. Sejenak Ran sibuk menata makanan yang cukup banyak di meja mereka.

"Ini gue mau ngajak. Besok mumpung minggu. Kak Firda di Bandung."

"Ih dekeeet! Let's go bro!" Ran meninju bahu Bram pelan.

"Kasih kado apa ya yang bagus ..." Bram mengaduk teh manis hangat pesanannya, melarutkan sisa gula yang ada di dasarnya.

"Di RS apa rumah?"

"Masih di RS."

"Kalo gitu kita beli parcel buah aja."

-

“Bram lu yakin ini rumah sakitnya?” Ran menatap cowok di sampingnya itu sangsi.
Sejak tadi mereka sudah mondar-mandir di lantai yang sama sambil mencari ruangan yang menjadi tujuan mereka.

Completely! Gua kan dibilangin langsung sama Kak Firdanya.” Bram menunjukkan nama bangsal dan nomor kamar yang tertera di layar ponselnya.

“Duh … berat banget ini bingkisan! Kenapa sih gua yang bawa?” Ran melotot pada Bram. Cowok itu harusnya memperhatikan keadaannya sekarang. Lihatlah dirinya yang sudah penuh keringat, memeluk parsel buah yang besar dengan kedua lengan kecilnya hingga ia tidak bisa membenahi kacamatanya yang melorot sampai ujung hidungnya.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang