Gunung Gede, malam hari ...
Hutan temaram. Sisa-sisa hujan sudah lama pergi. Meninggalkan tanah becek dan bau hujan yang pekat. Ran dan rombongan masih terus melanjutkan pendakian. Mereka bersiap menyambut malam. Headlamp dan senter sudah dikeluarkan dari keril. Pos 4 masih jauh di atas, sementara jalur semakin curam.
Seisi rombongan tak banyak bicara. Krisis energi akut yang sudah tidak bisa disembuhkan dengan gula jawa, cokelat atau madu menyerang. Kecuali anggota yang sudah biasa naik gunung seperti Faris, Zaki dan Arkan, semuanya terengah dengan wajah pucat.
Zaki sebagai ketua kelompok terus memantau anggotanya. Sesekali ia memimpin jalan, kali lain ia menyuruh temannya memimpin sementara ia memeriksa anggota rombongannya di belakang. Empat anggota cewek dalam kelompok sudah lama menyerah dengan keril mereka. Namun ia terkejut menemukan Ran yang masih bertahan dengan kerilnya sampai setinggi ini.
“Kerilnya mau dibawain Ran?” Zaki menawarkan untuk kesekian kalinya sejak di Pos 2.
“Nggak A’,” jawab Ran pendek.
“Pos 4 masih jauh, ya?” tanya Dewi dengan wajah mengerut tak karuan. Ia berhenti di tengah jalur dan berkacak pinggang.
“Dikit lagi ... “ Zaki menjawab dengan tawa samar.
Dewi mendesah, “Ah, harusnya aku nggak nanya!” gumamnya.
“Kalo nggak kuat bilang, ya, Ran. Nanti kerilnya dibawain sama yang lain.” Zaki kembali berpesan. Bukan apa-apa, tapi saat ini wajah Ran sudah sangat pucat. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk di tengah perjalanan malam hari diketinggian hampir 3000 meter ini.
“Iya,” jawab Ran.
Pos Bayangan 2 Lawang Sekateng berhasil rombongan itu jejaki tak lama kemudian. Namun kondisi yang sudah malam, membuat mereka memilih untuk segera melanjutkan perjalanan tanpa istirahat di sana. Pos ini sekaligus menjadi tanda bahwa sedikit lagi mereka sampai ke Pos 4.
Ran kehilangan selera untuk bicara sejak hari mulai gelap. Selain karena kehabisan nafas, ia juga penat karena pikirannya yang terus bekelana soal Sandra. Hatinya semakin gundah. Kepergiannya ini memang bisa dihitung tidak mendapat restu. Tapi sekali ini saja ia ingin melakukan sesuatu yang murni atas keinginannya. Pendakian ini justru adalah pelariannya, sekaligus waktu yang sengaja ia ciptakan untuk merenungi kembali langkah-langkah hidupnya.
Kini ia sudah berumur delapan belas tahun. Bulan lalu Pak RT sudah mengantar KTP-nya yang akhirnya jadi. Itu adalah bukti nyata bahwa ia sudah diakui sebagai orang dewasa oleh negara. Ia ingin mandiri mulai sekarang. Ia ingin memimpin hidupnya sendiri, lepas dari tuntutan Sandra dan kekangan siapa pun juga.
Ran ingat sekali ketika ia lulus dari SMP dulu ia mendapat nilai Ujian Nasional paling tinggi di sekolahnya. Berbekal nilai itu, SMA Negeri yang menjadi incarannya malah menawarinya langsung untuk masuk ke sana dengan tanpa biaya. Ran senang bukan kepalang ketika mengetahuinya. Namun tidak dengan Sandra.
“Kamu ngapain masuk sekolah itu? Mama udah daftarin kamu di sekolah swasta elit. Minggu besok kamu ujian masuk, belajar yang benar. Mama yakin kamu pasti keterima di sana.”Ran melenguh, ia tentu tahu sekolah elit berasrama itu, “Kan aku udah keterima di SMA Negeri, Ma! Ngapain sih repot-repot lagi tes di sekolah itu. SMA Negeri juga bagus, kok!”
Sandra menggeleng, “Nggaklah. Kamu harus sekolah di tempat terbaik biar bisa masuk Kedokteran nantinya.”
“Ya emang kalau masuk SMA Negeri nggak bisa? Lagian aku nggak mau masuk jurusan Kedokteran.” Ran masih mencoba merayu.
“Terus mau masuk jurusan apa?” tanya Sandra.
“Belum tau, aku kan baru lulus SMP, belum kepikiran kuliah.” Ran menggedikkan bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMMIT ATTACK [Selesai]
Teen FictionHalo, sebelum ketemu Ran dan Arkan, bisa follow aku dulu? Makasih~~ Arkan Halim baru putus cinta karena cewek yang dikencaninya selama bertahun-tahun selingkuh. Ranita Hanggini tak tahan lagi dengan orang tuanya yang selalu mendikte hidupnya. Sama...