9. Summit Attack

1.3K 208 4
                                    

Alun-alun Surya Kencana, Gunung Gede Pangrango, September 2016 ...

Semua anggota sibuk mengagumi pemandangan alun-alun seraya berjalan membelahnya. Selepas sarapan mereka kembali memulai perjalanan. Kini melangkah, mendaki menuju puncak Gunung Gede yang berjarak sekitar satu jam dari tempat camp mereka. Hembusan angin yang cukup kencang dan dingin tidak menyurutkan langkah rombongan itu. Sampai di ujung alun-alun mereka menemukan jalur menanjak yang tersusun dari bebatuan.

"Summit ... summit ..." Zaki menyapa beberapa pendaki yang mendirikan tenda dekat awal jalur pendakian ke arah puncak.

"Duluan bang!" Sahut mereka yang masih sibuk mencabut patok tenda mereka.

"Cerah nggak bang di atas?" Tanya Zaki.

"Kata yang tadi udah turun dari puncak sih cerah bang. Tapi kok kalau dari sini kayaknya banyak awan ya."

"Moga-moga awannya melipin bentar ke mana kek gitu ya ..." bisik Dewi.

"Kalian tau apa istilah keren pendakian akhir ke puncak gunung?" Tanya Arkan pada Dewi dan Ran.

"Apa?" Tanya Dewi cukup penasaran.

"Summit attack."

"Ooooo serangan puncak!" Dewi manggut-manggut.

"Jangan diartiin ke Bahasa, dong, jadi aneh!"

"Yeeee emang gitu kan artinya."

Jalur menuju puncak Gede sama sekali tidak mudah. Jalanan berbatu yang terus menanjak mengikuti langkah mereka. Satu titian batu ke titian lainnya ada yang berjarak tiga langkah sehingga Ran yang bertubuh mungil butuh bantuan seseorang untuk menariknya atau jika ada batang pohon di dekatnya, Ran akan menjadikannya tumpuan. Kurang lebih satu jam adalah waktu yang dibutuhkan termasuk istirahat selama perjalanannya. Ketika akhirnya jalur berbatu itu berakhir dan jalur pasir menggantikannya, mereka tahu mereka sudah sampai.

Ran yang paling bersemangat. Sakit di kakinya sudah lama ia abaikan. Dengan bantuan Arkan ia menaiki jalur pasir yang cukup licin. Perlahan netranya menangkap pemandangan maha dahsyat yang disajikan puncak Gunung Gede untuknya dan para pendaki lain yang sudah melangkah sejauh ini.

Tanpa berkedip Ran mendekati tali pembatas dan menatap jauh ke depan. Awan-awan berarak rendah di bawahnya. Di sela gumpalannya terlihat pemandangan kota entah apa yang terlihat sangat kecil. Di ufuk barat langit matahari masih menggantung rendah, mengusir sisa-sisa fajar dua jam lalu.

Tangan Ran menggenggam erat tali pembatas hitam di depannya. Kawah terlihat pula di antara awan. Mata Ran berbinar menatap matahari yang perlahan naik. Tak terasa air matanya mengalir. Perjuangannya dari rumah hingga sampai ke puncak entah mengapa membuatnya sedikit emosional. Dengan malu ia menyeka air matanya sebelum orang lain melihat.

Dewi di sampingnya terang-terangan menangis. Ia menghampiri Ran dan merangkul pundaknya. Ia menyeka hidungnya yang meler dan tersenyum lebar ke arah Ran yang dibalas dengan tawa bahagia dan haru.

"Orang-orang emang sering jadi emosional pas sampe di puncak. Wajar ... perjalanannya emang capek banget ... liat pemandangan sebagus ini serasa kebayar lunas nggak sih semua capek itu?"

Ran mengangguk sebagai jawaban karena tidak tahu harus berkata apa. Haru masih menyelimutinya.

"Eh ada yang nangis ternyata!" Faris tersenyum usil pada Ran dan Dewi. "Kapok nggak naik gunung?" Ran menggeleng semantara Dewi mengangguk cepat.

"Lho lho kirain nangis gara-gara terharu liat puncak?"

"Terharu iya. Inget capeknya kayak gimana juga iya."

"Puas Ran?" Tanya Arkan.

Ran menyeka ujung matanya. "Kalau tau begini rasanya setelah berhasil sampe di puncak rasanya aku nyesal."

Arkan menaiklan alisnya tidak mengerti.

"Nyesal kenapa nggak dari dulu aku ikut pendakian." Ran mengeratkan genggamannya pada tali pembatas. "Kalau tau hasilnya bakal sekeren ini, aku pasti nggak aka  ragu buat ikut naik gunung. Gunung manapun. Dan
... harunya sampe bikin ngilu. Mungkin kedengerannya lebay. Tapi kalo inget perjuanganku yang nggak cuma di perjalanan tapi juga sebelum perjalanan rasanya bangga banget. Aku kayak ngerasa bisa ngadepin kesulitan apapun di hidupku nanti ke depannya."

Ran  sungguh bisa merasakan perasaan berani itu. Ia bahkan yakin bisa meyakinkan Sandra soal kuliahnya, soal hidupnya, dan mimpinya. Ran tahu, layaknya jalur curam menuju puncak sejak awal di basecampe nun jauh di bawah sana, hidupnya pasti akan mememui beberapa jalur terjal yang mungkin bisa menghambatnya, menghetikannya. Namun, pun selayaknya sekarang ia mampu berdiri utuh di atas puncak, Ran percaya ia juga bisa menginjakkan kaki di puncak hidupnya, tentu setelah berhasil melalui rintangan.

Rintangan pertama tentu saja Sandra.

"Ya, kan? Puncak selalu ngasih bayaran yang setimpal untuk orang-orang yang nggak nyerah di tengah jalan." Arkan menoleh pada Ran. "Selamat buat kamu yang udah berhasil naik sampai puncak. Ke depannya kalau kamu takut buat ambil keputusan apa pun, ingat momen ini. Emosinya. Mungkin bisa ngebantu ..."

Ran menatap Arkan lekat. Perjalanan ini, tempat ini dan orang-orang yang menyertainya kini sudah mengukir tempat istimewa mereka di sudut hatinya. Kenangannya akan selamanya tersimpan di sana untuk sewaktu-waktu Ran mungkin membutuhkan mereka. Entah di waktu suka maupun duka.

"Semoga pulang dari sini kamu bisa berusaha yang terbaik buat hidup kamu," kata Arkan tulus. "Kamu keren!" Arkan mengacungkan dua jempol.

Ran tertawa melihat ekspresi Arkan. "A Arkan juga ya. Semoga bisa cepat ilang galaunya."

Arkan mengangkat alisnya.

"Teh Dewi bilang A Arkan ikut pendakian ini biar nggak galau terus." Ran terkikik.

Arkan tersenyum masam. Dasar Dewi. []

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang