6. Mantra Para Pendaki

1.2K 193 0
                                    

Jalur Putri, Gunung Gede-Pangrango, September 2016 ...

Hujan masih turun.

“Dewo, ayo semangat! Tadi katanya naik gunung nggak capek.”

Arkan terus mengekori Dewi yang sejak Pos 1 sudah kepayahan. Sepupunya itu sering berhenti sendiri hingga tanpa sadar mereka sudah berada di paling belakang rombongan dan agak terpisah. Arkan harus mendongak tiap dua-tiga langkah untuk memastikan keberadaan rombongan mereka, sementara hujan yang turun membuatnya kesulitan melihat. Mereka tak boleh terpisah dengan rombongan. Tidak di gunung yang sama sekali asing untuk Arkan. Kalau ini Lawu atau Merbabu ia masih percaya diri.

“Ah, nafasku sesak banget. Jalurnya kenapa nanjak terus sih dari tadi, nggak ada datar-datarnya sama sekali.” Dewi berhenti, berpegangan pada pohon.

Arkan kembali mendongak, memastikan keberadaan rombongan mereka.

“Kayaknya jalur ini emang lurus langsung ke atas, deh, makanya nanjak terus. Ayo!” Arkan mendorong punggung Dewi untuk segera melangkah.

“Si Ran di depan, ya? Dia beneran baru petama naik gunung? Kok kuat banget sih dia.”

“Dia mungkin sering olahraga. Kalau kamu kan nggak pernah. Udah kubilang sebelum naik gunung olahraga kecil-kecilan dulu. Apalagi kamu baru pertama kali.”

“Iya. Sekarang udah begini baru nyesel. Harusnya aku kirim kamu ke sini sendiri aja. Mana sekarang ujan lagi. Sepatuku berat jadi susah jalannya.”

“Semangat Dew! Udah di tengah jalan gini, gabisa turun lagi. Satu-satunya pilihan ya terus naik ke atas. Nanti di puncak, pikirin lagi kamu nyesal atau nggak naik gunung!” Siapa pun tahu, tak akan ada yang menyesal naik gunung setelah sampai di puncak dan disuguhi pemandangan luar biasa.

“Masih jauh!” Dewi mengusap wajahnya yang basah.

Arkan terkekeh, meraih tangan Dewi, menariknya kembali jalan.

“Ngomong-ngomong, Kan ... kok bisa ya kebetulan kayak gini kejadian sama kamu.”

“Kebetulan apa? Udah buruan ayo jalan, makin lama berhenti makin susah mulai langkahnya lagi.”

“Ranita. Kenapa bisa kamu ketemu orang yang namanya sama kayak mantan kamu itu di sini coba?” Dewi menggeleng tak percaya, sambil agak kewalahan melagahi langkah Arkan.

Arkan tercenung. Ia sudah berusaha mengabaikannya sepanjang perjalanan, tapi Dewi malah mengingatkannya kembali.

“Aku liat kamu kaget pas di stasiun kemarin waktu dengar nama Ranita.”

Arkan menggedikkan bahu. “Aku nggak sadar kalau ada anak rombongan yang namanya Ranita. Nggak begitu perhatiin orang-orang di grup. Aku kaget bukan karena nama, tapi lebih ke fakta bahwa bisa-bisanya aku gak sadar.”

Dewi mengerti. Belakangan Arkan memang sensitif sekali dengan nama itu. Tapi melihat kali ini cowok itu tidak menyadari nama ini, bisa jadi pertanda baik atau buruk. Baik karena mungkin itu tandanya ia sudah mulai bisa melupakan. Buruk karena mungkin cowok itu sebegitu kalut sampai tidak sadar.

“Tapi kuliat kamu biasa aja ngobrol sama Ran?”

“Ya emang harus gimana? Masa cuma gara-gara namanya sama, aku ngehindarin Ran?”

Dewi mencebik, “Kayaknya naik gunung ampuh juga buat nyadarin kamu. Kukira kamu bakal parno ketemu orang yang namanya sama kayak mantan kamu itu. Aku sengaja nggak ngasih tau kamu soalnya udah tanggung kubayar biayanya. Takutnya kalau aku bilang ada yang namanya Ranita kamu nggak jadi pergi. Iya, nggak?”

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang