Penyembuh

1K 198 0
                                    

Bangko, Agustus 2019 …

Ran butuh waktu rehat dan menjauh dari kehidupannya yang biasa. Ia butuh obat mujarab untuk menyembuhkan luka hatinya sepeninggal Sandra. Berdiam diri di rumah tidak membantu. Langsung kembali kuliah malah memperparah. Untunglah sahabat baiknya manawarkan satu solusi yang menggiurkan.

Setelah perjalanan panjang selama tiga hari dua malam dengan bus, akhirnya Ran berhasil menginjakkan kaki di kota kecil paling selatan Provinsi Jambi, Bangko. Hasil berunding dengan Anjas menyimpulkan bahwa mengunjungi sahabatnya di sana mungkin bisa jadi jalan keluar. Meski awalnya Ran ragu  karena harus meninggalkan Anjas sendirian di tengah suasana kehilangan ini, namun ayahnya itu berkeras bahwa putrinya butuh waktu dan tempat yang tenang untuk menjernihkan pikirannya. Anjas tidak memberinya batas waktu, Ran boleh kembali setelah yakin dirinya sembuh.

Pagi datang tanpa Ran sadari. Ia terbangun karena suara air dari dalam kamar mandi. Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

“Udah bangun Ran? Kamu mau makan atau mandi dulu?” Shiwa keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepalalnya.

“Mandilah!” Ran menguap. “Masa aku makan belum mandi, nanti jengkol sama pete di piringku tersinggung karena aku ngalahin bau mereka!” canda Ran.

Shiwa tersenyum mendengar guyonan khas Ran yang sudah lama tidak ia dengar. Ia memperhatikan yang Ran masuk ke kamar mandi dengan wajah bangun tidurnya. Dulu wajah itu adalah pemandangan rutinnya setiap pagi sejak di asrama, sampai di indekos. Ia benar-benar merasa bernostalgia dengan masa kuliah yang bagai mimpi berkat kedatangan Ran.

Lima belas menit adalah waktu ideal untuk Ran menyelesaikan ritual mandinya. Ia segera turun bersama Shiwa dengan membawa  serta tasnya. Mereka akan langsung berangkat menuju kampung halaman Shiwa setelah sarapan. 

“Baru pertama kali ke Jambi, ya, Ran?” tanya si pemilik rumah yang rupanya bibi Shiwa, atau sahabatnya itu memanggilnya dengan panggulan ‘Makcik Suha’ pada Ran di sesi sarapan pagi lesehan mereka.

“Iya, pertama kali juga ke Sumatera, selama ini mainnya di Jawa aja,” jawab Ran.

“Beda sekali kan di sini dan di Jawa? Di sini sepi, apalagi kota Bangko ini.”

Ran mengangguk setuju. “Iya, nggak kayak Jawa yang udah sumpek banget, Makcik ..”

“Lucu ya dengar orang Jawa manggil Makcik, “ Makcik Suha tertawa, “Biasanya di Jawa manggilnya Budhe, ya?”

“Aku orang Sunda sebenarnya, Makcik ... asli Bogor. Jadi panggilnya Bibi biasanya.”

“Oh! Anak Makcik kuliah di sana! Di sekolah perikanan. Kebetulan sekali, ya ... biasanya dia nggak pulang walau liburan semester begini, paling setahun sekali pulangnya di semester genap. Tapi liburan ini dia pulang, tumben. Nanti dia ikut kalian ke kampung.”

Ran mengangkat alis, ia menoleh pada Shiwa yang sibuk menyantap sarapannya.

“Iya, aku lupa bilang kamu. Aku nggak berani nyetir sendiri ke Jangkat. Jalannya berkelok-kelok, seram. Jadi nanti dia yang nyetir.”

Setelah sarapan mereka langsung pamitan pada Makcik Suha dan suaminya, Pakcik Zon. Ran akhirnya bertemu dengan anak Makcik Suha yang tadi mereka bicarakan. Penampakannya sungguh membuat Ran terpana. Sepupu Shiwa yang ternyata cowok itu terlihat amat berbeda dari sahabatnya. Ia bahkan harus memastikan apa benar keduanya bersepupu ketika akhirnya mereka berangkat.

“Aku tau dia mirip bule. Aku juga heran kenapa rupa dia begini,” seloroh Shiwa yang duduk di depan.

Ran di bangku tengah tak henti-hentinya merasa heran pada sosok yang kini sedang menyetir. Cowok itu punya perawakan yang tidak tinggi dan tidak pendek juga. Rambutnya dipangkas rapi, hampir botak malah. Kulitnya putih pucat. Wajahnya dipenuhi bintik-bintik cokelat atau nama bekennya freckles, matanya teduh, dinaungi bulu-bulu mata panjang nan lentik, irisnya berwarna cokelat cerah dan namanya Erik! Sungguh kombinasi yang apik antara penampakan dan nama, keduanya seperti bekerja sama mengkhianati nenek moyang mereka.

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang