Pekan Olahraga

1.8K 236 0
                                    

Sepagian Ran cemberut. Suasana hatinya sedang tak bagus. Sudah genap seminggu ia berubah menjadi ‘kura-kura’. Iringan ucapan selamat dari teman-temannya masih berdatangan. Mereka tidak tahu saja, kalau Ran mengerjakan semuanya tanpa minat sedikit pun. Hanya karena wataknya yang sulit mengabaikan tanggung jawab, menjadikannya sulit pula mengabaikan ketika ada panggilan untuk rapat himpunan. Padahal, seperti nasehat Bram, ia bisa saja jadi anggota 'kabur-kaburan' kalau memang benar-benar tak ingin berpartisipasi.

Ditambah, sepertinya waktu ikut andil dalam menyusahkan hari-harinya yang tenang ini, karena bertepatan dengan bergabungnya dirinya dengan himpunan, acara tahunan Pekan Olahraga malah akan dihelat kurang dari sebulan lagi. Ia sebagai anggota Divisi Olahraga otomatis menjadi panitia acara yang cukup besar itu.

“Yuk Ran rapat,” ajak Danu ketika pulang kuliah. Melihat wajah Ran yang kebingungan ia menambahkan, “Sebagai ketua himpunan yang baik, hari ini gua hadir di rapat divisi lu, jadi kita jalan bareng aja.”

Ran jelas tidak bisa mensyukuri keadaaannya sekarang. Rutinitas barunya yang sudah bagai pejabat kampus ini membuatnya tidak punya banyak waktu untuk menulis novelnya. Padahal ide-ide sudah menumpuk di kepalanya dan siap untuk dituangkan. Tak jarang, saking lama terbengkalai di angannya, ide-ide itu malah menguap hilang.

Biasanya rapat mereka akan molor dari waktu seharusnya karena anak-anak divisinya gemar sekali basa-basi di tengah diskusi. Tapi hari ini, berkat kehadiran Danu yang bisa membatasi frekuensi basa-basi itu, rapat mereka selesai jauh lebih awal.

“Lu bisa nggak ikut rapat tiap hari?” tanya Ran sungguh-sungguh.

Danu tersenyum meledek, “Segitu ngefans-nya sama gua?”

“Kalau di rapat iya. Kalau di kelas sih amit-amit.” Ran bergidik. “Kalau ada lu rapatnya selesai lebih cepat. Ketua Divisi Olahraga tuh nggak bisa tegas sama anak yang bertele-tele, malah ikut-ikutan. Kemarin terakhir kita rapat sampai jam 9 malam, padahal yang dibahas dikit banget.”

“Ya lu sebagai anggota ingatin lah. Jangan diam aja. Belajar berpendapat. Lu tuh pintar belajar doang. Soal organisasi gini buta banget. Berterima kasihlah sama gua dan Shiwa yang bikin lu masuk himpunan.”

“Gua nggak butuh skill berdebat,” kilah Ran.

“Bukan nggak butuh, tapi belum butuh. Dan, bukan debat. Menyampaikan pendapat! Bukannya karena nggak punya skill ini jadinya lu terjerumus ke jurusan kedokteran?” tanya Danu, dan langsung ia sesali ketika menemukan wajah Ran menjelma kelabu.

“Betul.” Ran mengamini pelan. “Maka dari itu skill menyampaikan pendapat itu nggak berguna lagi buat gua sekarang karena udah terlanjur terjerumus.”

-

“Muka lu udah kayak koran bungkusan cabe aja, lecek!” Elya langsung meledek Ran setelah cewek itu masuk ke kamar kos mereka.

“Jelas. Semenjak ikut himpunan gua jadi nggak ada waktu buat me time. Adaaa aja rapat, heran, padahal nggak penting.” Ran menghembuskan napas kasar dan melempar tubuhnya ke atas kasurnya.

“Makanya jangan dijadiin beban," seloroh Elya kelewat ceria.

Ran mengucek matanya yang terasa kering sambil berpikir. Ia memang sedang berusaha ‘menyukai’ rutinitas barunya itu. Tapi seperti halnya sebuah proses, tidak ada yang instan, semua perlu waktu dan Ran rasa ia membutuhkan waktu ekstra untuk bisa menikmati posisi barunya sebagai anggota himpunan.

“Shiwa mana?” tanya Elya.

“Wawa ke sekre Jambi,"

“Teladan yang bagus! Bisa ya dia bagi waktunya! Jarang banget gua liat kalian pulang bareng.”

SUMMIT ATTACK [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang