Bagian 22 // Otakata or Utakata?

58 13 0
                                    

Untuk mengetahui dan memahami itu berbeda. Tidak ada yang lebih tahu rasa sakit yang dirasakan, kecuali diri mereka sendiri.

Playslits : Into the I-land (I-LAND)

JANGAN LUPA VOTE DAN COMENT^______^

"Lo pernah merasa kehilangan arah pulang ngga?" tanya Rey dengan suara yang jauh lebih serius. Cowok itu terus saja menatap langit.

"Gue belum setua itu untuk lupa alamat rumah sendiri," jawab Ola. Ia tahu. Sangat tahu apa yang cowok itu maksud, hanya saja dirinya tidak mau menceritakan hal tersebut.

Rey menghela pelan. "Gue tengah berada di posisi itu sekarang."

"Gue selalu bertanya-tanya tentang waktu dan perasaan manusia yang begitu lemah dan mudah rapuh." Rey merebahkan tubuhnya. Masi dengan kaki yang bergelantungan di tepi bangunan. "Kenapa mereka bisa berbuat jahat dan setelah nya menyesali."

"Karena itu sifat manusia. Tidak ada yang jahat dan tidak ada yang baik."

Rey hendak kembali berucap, tapi terhenti. Ia bagun dari posisi rebahanya dan menyuruh Ola agar duduk di samping nya.

"Gue masi pengen hidup," tolak Ola.

Dahi Rey mengernyit heran. "Lo beneran takut ketinggian?"

"Gue ngga takut ketinggian, gue hanya takut jatuh," ujar Ola yang masi duduk di tempatnya semula.

Cowok itu terkekeh mendengar jawaban yang tidak pernah di dengar dari orang yang phobia ketinggian. Ia mengalah. Bangkit dan duduk di sisi Ola.

"Lo punya masalah keluarga?" tanya Rey tiba-tiba membuat tubuh Ola tersentak kaget.

Ola terdiam enggan menjawab. Rey memaklumi. Ia menarik nafas panjang dan kembali menatap langit cerah tersebut. Matahari yang menyinari tubuh mereka, tak membuat keduanya berpindah posisi mencari tempat teduh.

"Lo tau apa kesamaan awan dan manusia?" tanya Rey. "Coba lo lihat itu." lanjut Rey menunjuk gumpalan awan besar dan tebal. Ola yang duduk di berdampingan hanya mengikuti arah telunjuk dengan bungkam.

"Perasaan manusia seperti awan. Tidak pernah menetap, selalu berubah-ubah. Dari awan yang besar, berubah menjadi kecil dan pudar karena tertiup angin. Dan, ada dari sebagian awan itu yang menumpuk di tepi sampai menjelang sore hari." Ola menoleh ke samping menatap rahang tajam Rey.

"Sama halnya ketika kita memilih untuk memendam sesuatu hal yang menyakitkan di suatu tempat di hati kita. Perasaan sakit itu tidak akan menghilang seperti awan, melainkan akan terus bertambah dan menghasilkan lara yang belum pernah kita rasakan." Rey balik menatap mata Ola dalam.

Tubuh Ola tersentak untuk kesekian kalinya. Bukan karena di tatap cowok di depanya, melainya ia familiar dengan ucapan yang baru saja Rey katanya. Sama persis. Hanya saja dulu, seorang wanita yang mengatakan nya. Wanita yang sama menghilang membawa teman kecilnya pergi.

Kedua mata Ola berembun. Ia segera mengalihkan pandangannya. Rasa kangen kembali memuncak di barengi rasa penyesalan yang datang. Telapak tangan kanan Ola kembali bergetar.

Rey tersenyum samar. Ia berdiri saat mendengar bel istirahat berbunyi.  "Ayo kebawah," ajaknya mengulurkan tangan.

Ola masi menunduk mengatur nafasnya. "Tidak jangan sekarang! Jangan di depan orang lain!" batin Ola. Ia berusaha menahan tangis nya. Ia tidak mau menumpahkan di depan orang lain, biarkan nanti saat dirinya tengah sendiri. Menyesakkan memang, tapi ia selalu berusaha menahannya bagaimanapun caranya.

Evanescent [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang