Bagian 48 // Labirin perasaan

32 10 4
                                    

Dan pada akhirnya dia seperti berada di tempatnya. Tidak perduli kapan dia menghadapinya, atau bagaimana cara dia melewati semuanya. Karena hasilnya tidak akan pernah berubah. Itu adalah cara lain untuk mendeskripsikan takdir.

Jangan lupa vote dan coment!

Aku mau ngasih tau, tiba-tiba kepikiran aja mau manggil pembaca ku dengan sebutan Wanbu. Karena kalian sudah memasuki dunia Megakelabu, maka kalian di masa rehat kalian dari dunia dan masuk ke dunia ini aku harus memberikan kalian nama atas kebaikan kalian yang sudah mau mampir. ◡̈ ༘ *

Happy reading Wanbu!

:›💠

Sinar matahari pagi yang terasa hangat berhasil membuat siswi-siswi yang memakai riasan di wajahnya menjadi resah karena keringat yang bercucuran. Walaupun ulangan akhir semester sebentar lagi, tetapi tidak membuat SMA Cendrawasih melalaikan kegiatan bulanan, yaitu literasi bersama.

Tiga puluh menit sudah berlalu dan seperti biasa anak-anak tengah mereview buku bacaannya. Dan hebatnya sedari tadi yang maju adalah anggota Renoir termasuk Agam sendiri. Perubahan geng tersebut mampu membuat pak Bahrul tersenyum bangga, yang kini tengah mengawasi di pojok kiri lapangan.

"Oke, ibu rasa sudah cukup," ujar ibu guru bahasa Indonesia yang kini berdiri di depan mic. Dimana tempat Agam berdiri tadi.

"Sebelum kita lanjut ke acara penyerahan piala serta piagam bagi anak-anak olimpiade. Ibu selaku perwakilan guru SMA Cendrawasih benar-benar mengapresiasi perubahan pada anak-anak Renoir. Semoga kedepannya kalian akan selalu aktif seperti ini," lanjutnya.

"Tepuk tangan untuk ketua kita!" ucap Rafael yang langsung di sambut tepuk tangan meriah. Membuat Jidan merasa tidak adil dan tidak berguna menjadi ketua osis.

"Ck, kita boleh pergi aja ngga sih?!" ujar Kaila. Wajahnya sudah memerah karena panas, novelnya pun di jadikan kipas angin olehnya.

Zanna dengan rambut yang saat berangkat dia gerai kini sudah di kepang asal ke samping. Ia menoleh ke arah Kaila yang memang duduk di sampingnya.

"Kenapa? Makin panas mental lo kalah dari anak kaya gitu?" ujarnya semakin memanas-manasi.

"Tapi Ola hebat ko bisa dapat juara kedua. Ya kan, Stell? Dari pada Kaila yang merebut posisi ikut olimpiade saja tidak bisa," ledeknya terkekeh pelan.

Stella yang duduk di depan Kaila tidak menghiraukan ucapan teman-temannya. Tatapannya fokus pada Ben yang tengah merekam Ola yang menerima piagam di depan sana.

"Kalau gue jadi lo, gue ngga akan ngebiarin dia bersenang-senang seperti itu." ujar Stella tanpa menoleh ke belakang. Tangan putih itu mengepal erat, membuat kukunya yang sedikit panjang memberikan rasa sakit pada telapak tangannya. Rasa cemburu yang semakin membara dan penolakan terus menerus membuatnya emosi. Baginya kedatangan Ola adalah malapetaka bagi percintaannya.

"Kalian mau lihat hal seru tidak?"

Ketiga cewek itu menatap penasaran Kaila yang kini tengah tersenyum sinis.

"Mumpung ini hari bahagia buat dia, gue juga punya kejutan buat anak itu," lanjutnya yang mana di akhiri dengan senyum manis. Hal tersebut sontak membuat Stella terkekeh pelan, ia tak sabar hal apa yang mampu membuat Kaila jadi seperti itu.

Evanescent [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang