Part One : He Cares

2.8K 125 21
                                    

19 Desember 2019.

Adalah hari pertama gue memulai hari baru sebagai seorang Barista, dimana sebelumnya jabatan gue merupakan seorang Commis alias juru masak di restoran fine dining di Jakarta Utara. Anyway, gak heran kan melihat seorang cewek seperti gue pernah kerja di Kitchen? Zaman sekarang emang banyak cewek yang kerja dibidang tersebut. Renatta Moeloek salah satunya. She used to be my inspiration sebelum gue memutuskan untuk keluar dari dunia Chef.

Gue mengundurkan diri karena jarak dari rumah menuju tempat kerja terbilang sangat jauh. Rumah gue di Bekasi. Iya, kota yang selalu dijulukin Planet Bekasi karena saking panas dan jauhnya. Alasan lainnya karena gue sakit-sakitan. Dari Typhus sampai Gastritis Erosive udah pernah gue rasakan. Itulah mengapa kedua orang tua gue menentang gue untuk melanjutkan kerja dan menyuruh untuk buka usaha. Udah diberi modal, tapi apadaya, jiwa gue ini bukanlah jiwa entrepreneur, melainkan jiwa wanita karir yang mengincar jabatan tinggi disuatu perusahaan. 8 bulan lamanya gue menganggur sambil menjalankan bisnis makanan daring yang gak jelas perkembangannya, akhirnya gue dapat panggilan wawancara untuk menjadi seorang Barista.

Gue termasuk salah satu orang yang terbilang sangat beruntung. Dulu, yang diwawancara untuk posisi ini mencapai sembilan puluh orang, padahal mereka cuma butuh enam Barista baru. Wawancara dibagi menjadi 4 batch dengan satu batch-nya terdiri dari 20 sampai 25 orang. Gue masuk ke batch pertama bersamaan dengan 24 orang lainnya. Guess what? Hanya dua orang termasuk gue yang lolos pada batch tersebut. Sekarang dia menjadi salah satu teman akrab gue meskipun kami udah kerja di cabang yang berbeda. Dia di cabang Bekasi, gue di Jakarta Timur. Yah, Jakarta lagi Jakarta lagi. Seenggaknya gak sejauh tempat kerja gue sebelumnya.

Dan akhirnya, 19 Desember 2019 menjadi hari yang amat sangat cerah untuk gue-karena gue bukanlah lagi seorang pengangguran. Gue disambut dengan hangat oleh para staf, mulai dari yang jabatannya setara dengan gue, Senior Barista, hingga Manajer sekalipun. Kecuali satu Barista perempuan yang menunjukkan ekspresi judes.

Gue menghampiri semua staf disana untuk kenalan. Sampai akhirnya gue berjabat tangan dengan cowok berkacamata ini.

 Sampai akhirnya gue berjabat tangan dengan cowok berkacamata ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Rere." Sapa gue kepada cowok itu.

"Hai, Rere. Panggil Rio aja, ya. Jangan Mario." Balas dia.

Sontak gue melihat nametag-nya. Mario. Pikir gue, Mario adalah nama yang bagus. Kenapa dia maunya dipanggil Rio?

Dengan sok akrab gue menanyakan hal tersebut ke cowok yang lebih sreg disapa Rio ini. "Emang, kenapa kalo dipanggil Mario, Kak?"

Gue pun mendengarkan penjelasannya. Mario punya tiga suku kata, Ma-ri-o. Sedangkan Rio cuma dua, Ri-o. Menurut dia sih, Mario itu terlalu panjang buat jadi nama panggilan.

Sadirga Mario Wijaksana. Gue langsung mengetahui nama lengkapnya setelah melihat schedule yang terpampang didepan locker room. Menurut gue, Dirga lebih cocok untuk dijadikan nama panggilannya ketimbang Rio. Ah, siapa gue mengatur-ngatur?

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang