Part Eighteen : The New Zone

893 56 8
                                    

"You gotta be kidding me, dude." Perkataan itu adalah jawaban dari gue untuknya. Cuma karena penasaran, dia mengajak gue untuk menjadi teman yang saling membutuhkan?

Bukan hubungan seperti itu yang gue mau, Mario.

"We're friends at work, Yo. Kenapa sekarang lo minta hubungan kita jadi begini?"

"Emangnya lo gak butuh, Re?" Dia tersenyum sinis, tapi menghindari tatapan gue. "Dimana-mana, kalo orang udah pernah berhubungan seks tuh pasti ketagihan. Lo udah kena sama Leo. Semenjak lo putus sama dia, apa lo sama sekali gak ada keinginan buat 'begitu'?"

"Enggak. Stereotip kayak gitu harus lo buang jauh-jauh. Emang ada yang ketagihan, tapi gak semua orang, ada kok yang biasa-biasa aja, ada juga yang nyesel."

"Gue sih gak munafik, Re. Gue emang butuh itu." Sial. Jawaban gue masih belum bikin dia skak mat.

"Ya terus? Lo mau minta gue buat menuhin hawa nafsu lo?" Gue menggelengkan kepala. "Gak. Kalo lo mau kita lanjut ke tahap friends with benefit, gue gak mau."

"Fine. Gue gak maksa, kok. Sejak awal kan gue bilang, kalo lo mengizinkan. Kenyataannya, lo gak mengizinkan. Yaudah. Gue minta maaf udah ngajakin yang enggak-enggak."

"Apa ada cewek yang juga lo ajak selain gue?"

Rio menggelengkan kepalanya.

"Jujur aja."

"Gak ada, Re. Gue berani sumpah kalo lo nyuruh." Gue tahu, Rio anaknya emang gak bisa berbohong. "Kalo lo nerima ajakan gue, ya berarti lo orang pertama."

"Dan kenapa lo ngajaknya gue? Apa karena mau matahin stereotip lo aja?"

"Gue masih punya alasan lain. Setelah berbulan-bulan lamanya kita kerja bareng, gue baru sadar kalo fetish yang gue punya tuh ada didiri lo. Gue selalu nahan diri, tapi gue mulai gak sanggup ketika lo mancing gue di locker room."

At this point, gue sedikit menyesal karena telah memancing dia. Coba dipikir, apa sih rasanya berhubungan seksual dengan orang yang gak lo cintai? Feel-nya gak akan dapat. Percayalah, kalau gue mengiyakan ajakan Rio, cuma gue doang yang merasakan feel-nya. It's not only because he didn't have the same feelings like me. Dia cuma penasaran.

Setelah itu, Rio berpamitan kepada gue. Dia terlihat aneh. Kayak... merasa malu udah mengajak yang enggak-enggak kepada gue. Dia juga gak berani menatap mata gue dengan durasi lama.

"Gue pamit ya, Re."

"Sebentar!" Gue mencegatnya mumpung dia belum menaiki motornya. "Lo kapan pindah cabang?"

"Tanggal 25, Re. Pas tutup buku. Kenapa?"

Gue menariknya untuk duduk didepan pagar rumah gue. Bintang malam ini cukup banyak terpampang di langit, cahaya bulan juga cukup terang. Rasanya sayang kalau gue dan Rio gak menikmati pemandangan gratis ini.

"Gue bakalan ngerasa kesepian, deh." Gue menghembuskan tawa pasrah. "Gak ada lagi yang gue cubit-cubit, gak ada lagi yang gue gigitin pundaknya, gak ada lagi yang gue jambak rambutnya. Bete, ah!"

"Mau gimana lagi, Re. Raynald yang nunjuk gue."

"Kenapa lo nerima-nerima aja?!"

"Ya buat kebaikan gue juga, Re. Biar skill gue bisa improve."

Gue menghela nafas berat sebagai jawaban untuknya.

Rio pun berdiri, menjulurkan tangannya untuk membantu gue berdiri juga. Kedua tangan cowok itu mulai bergerak menepuk pundak gue. "Gue akan sering-sering main ke cabang kalian, kok."

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang