Part Thirteen : He Is Dangerous

657 46 4
                                    

Stereotip orang-orang tentang hal berkaitan dengan labil kayaknya harus diubah. Pasalnya, gak cuma perempuan aja yang labil dalam urusan percintaan di dunia ini. Ada Sadirga Mario Wijaksana, salah satu bagian dari kaum adam yang gak konsisten dengan ucapannya sendiri. Masih ingat kalau dia gak mau pendekatan sama cewek dulu setelah putus dari Tricia, 'kan? Now look at him, dengan senyuman tanpa dosanya, dia memamerkan seorang cewek ke rekan-rekan kerjanya. Termasuk gue.

"Oi, Re!" Dia melambaikan tangannya ke gue.

Gue gak menjawab sapaannya. Kepala gue penuh dengan banyak pertanyaan, siapa sih cewek ini?

"Udah mau balik aja lo. Di luar hujan, loh!" Dia menunjuk ke arah jendela Moonbucks yang berada di belakang gue. Ah, Rere bego! Guyuran hujan kelihatan jelas dari jendela, bisa-bisanya gue gak sadar! Gue sih bawa jas hujan, tapi ban luar motor gue licin, gue agak takut membawa motor kalau hujan lagi deras-derasnya.

Gue mencari akal untuk berbohong. "Iya, tau kok kalo hujan. Gue mau ngerokok dulu di bawah."

Rio mendecak sambil mendorong tubuh gue kembali ke Moonbucks lagi. "Moonbucks 'kan ada smoking area, Re. Mending numpang ngerokok di sini sambil nunggu hujan reda, duduk di deket pintu biar gak kena percikan hujan."

Bawel. Saat ini Rio di mata gue sangat bawel, perhaps dia sengaja cari perhatian didepan gebetan barunya, sekalian membuktikan kalau dia ini orangnya penuh perhatian. Otak gue masih bertanya-tanya tentang cewek di hadapan gue ini. Mata gue juga gak berhenti melirik dia sinis.

Kelihatannya Rio sadar kalau gue bingung dengan sosok tak dikenal ini. Dia langsung membuka pembicaraan lagi. "Eh, iya, kalian belum kenalan," masing-masing tangan Rio menyentuh pundak gue dan juga pundak cewek ini, "ini Rere, temen kerja aku," kemudian cowok ini kembali menatap gue, "ini Viona, kenalan gue di Tinder."

Oh, rupanya cowok ini udah mulai aktif didunia dating applications.

Gue tertawa sinis begitu mereka pamit meninggalkan gue. Kaki gue bergerak cepat untuk menduduki salah satu kursi di smoking area. Kepingin merokok di lantai bawah tadinya cuma ingin gue jadikan alasan buat bohong, ternyata malah jadi kepingin merokok beneran. Biasanya ada satu hal yang mendorong mood gue untuk merokok, yaitu saat gue lagi ovethinking. Iya, detik ini gue lagi overthinking mikirin Rio. Gue tiba-tiba merasa dibohongin sama dia.

Pas lagi merokok tuh emang gak afdol kalau gak sambil minum sesuatu. Langsung lah gue jalan ke area Bar buat minta dibikinin minuman. "Lit! Bikinin gue Iced Americano less ice!"

"Size-nya apa, Re?" Alit masih tenang menanggapi permintaan gue.

Gue mendecak. "Ah, terserah lo aja! Mau large kek, pake galon kek, terserah!"

"Lah dia ngegas?!" Alit menatap gue heran. "Kenapa lo?! Lagi mens?"

Rio habis memesan minuman. Begitu dia udah selesai dari kasir, dia langsung menghampiri gue yang masih berdiri di dekat Bar. "Rere emang gitu, Lit. Mau lagi mens atau enggak mah dia ngegas mulu."

Gue menatap Rio ketus. "Apaan sih?! Pengen banget diajak ngobrol? Ngobrol aja sana sama cewek yang lo bawa kemari!"

Cowok berbahu lebar ini cuma ketawa. Emang dasarnya dia gak peka kali, ya? Kalimat gue konteksnya serius, tapi dia menganggapnya candaan.

Gue terus memperhatikan Rio dan cewek yang ogah untuk gue sebut namanya. Gak tahu apa aja yang mereka obrolin, kelihatannya mereka lagi bertukar cerita biar saling tahu kepribadian masing-masing, terus kehidupan mereka kayak gimana, yah, kayak orang pendekatan pada umumnya, lah. Gue baru sadar, tampan dan manis tercampur jadi satu ketika Rio lagi senyum. Senyuman ini sama persis kayak senyuman yang dia berikan saat mengobati tangan gue yang teriris cutter. Kali ini gue paham, sikap baik Rio bukan menjadi satu-satunya hal yang membuat jantung gue berdebar lebih kencang dari biasanya. Tapi juga senyuman manisnya.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang