Part Seventeen : A Dangerous Thing Called Fetish

758 57 7
                                    

***
Sebelum kalian baca part ini, aku kepingin nyapa kalian dulu.
Hai, selamat datang di Break The Rules! Terima kasih udah baca cerita ini. Kaget banget beberapa hari yang lalu tuh cerita ini masih dilihat 800 kali. Sekarang udah nyentuh 1k huhuhu terima kasih atas dukungan kalian, ya.
Mohon maaf kalo sejauh ini ceritaku masih membosankan. Aku akan berusaha memberikan kejutan di part-part berikutnya agar bisa membuat kalian berfikir, "cerita ini seru banget!"
Yaudah yuk dibaca dulu part 17 nya. Selamat membaca! ;)

***

Selain Vanno, Ryan, dan Rio, gue juga akrab banget sama Donny dan Dika. Mereka semua pernah membuat gue marah, lalu mereka juga meminta maaf dengan cara biasa. Hanya cara Rio yang membuat seluruh sel otak gue berpikir keras. Masalahnya, Rio juga pernah membuat Ayu dan Rissa kesal, tapi dia meminta maaf ke cewek itu dengan cara yang biasa-biasa aja, kayak lewat lisan dan berjabat tangan.

Mengusap kepala dan punggung tangan. Kenapa dengan gue aja dia menggunakan cara begitu buat minta maaf?

Gue terus-terusan bertanya dalam hati mengenai tindakan cowok itu. Gue amat sangat berusaha keras untuk gak berpikiran bahwa cowok ini juga punya perasaan yang sama seperti gue. As he told me months ago, he only wants me to be his friend. Dia gak mau lebih dari itu. He friend-zoned me, and ofcourse it hurts me because he will never feel the same. Cinta sepihak itu menyakitkan, isn't it?

Ketika gue menginjakkan kaki tepat didepan rumah gue, dia masih berusaha membujuk gue untuk memaafkan kesalahannya.

"It's not a big mistake, kok. Gue cuma lagi aneh aja hari ini." Gue dapat melihat raut lega dari wajah cowok ini.

"Aneh kenapa?" Tanyanya.

Gue mengangkat kedua bahu gue. "Gue bahkan gak bisa memahami diri gue sendiri, Yo."

Rio tersenyum tipis sambil mengusap rambut gue. Kali ini, gue menghindar selangkah setelah dia melakukan hal itu. Dan tentunya, dia heran. "Kenapa? Kok ngehindar?"

"Lo..." entah, jantung ini tiba-tiba berdebar kencang.

"Hmm?"

Gue menghela nafas berat, otak gue udah sulit untuk berpikir jawaban apa yang akan gue berikan untuk dia. Gue menatap aspal yang gue injak, sedikitpun gue gak berani memalingkan pandangan ke Rio.

"Kenapa, oi?!"

"Gak apa-apa," gue membalikkan badan untuk memasuki rumah gue. "Aneh aja, sih. Ada ya cowok minta maaf ke temen ceweknya kayak begini? Apa dia gak takut temen ceweknya kebawa perasaan?"

"Perasaan lo ke gue gak lebih dari sekedar temen kan, Re?"

Sontak gue terdiam, menghentikan aktifitas yang gue lakukan.

"Rere?"

Akhirnya gue membalikkan tubuh gue, dan menatap cowok ini intens. "I only ascribe you as a close friend. Please, jangan kegeeran."

"Good then," dia menjauh dari gue untuk berjalan mendekati motornya. "Gue cuma mastiin aja. Gak kegeeran, kok."

"Yaudah, deh! Gue gak mau perpanjang masalah!" Ucap gue setelah berdecak, "intinya, lo gue maafin! Titik!"

"Gitu kek dari tadi!" Dia berlari kecil menghampiri gue kembali, hanya untuk mengacak-acak rambut gue.

"Rio, ih! Rambut gue!"

"Lusa kita bareng lagi, yuk. Kan kita satu shift lagi."

Gue baru ingat, minggu ini gue dua kali ada di shift yang sama dengan Rio. Hari ini closing shift, terus lusa middle shift. Gue mengiyakan ucapannya dengan mengangguk. Lalu gue menyuruh dia untuk pulang karena malam semakin larut. Tetangga gue yang julid juga udah mengintip dari balik jendelanya.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang