Part Twenty : The Rules

819 51 5
                                    

Rio Moonbucks (01/11/20 18.45)
Baru sampe parkiran motor, nih.
Gue samperin ke Moonbucks aja, ya. Kangen sama anak-anak sana wkwkwk.
Bersikap biasa aja seolah-olah kita ini bukan fwb.

Rere (01/11/20 18.47)
Iya.

Gue gak bisa balas pesannya panjang lebar karena ada tamu yang harus gue layani, berhubung gue kebagian incharge di kasir di menit-menit sebelum jam kerja gue hari ini berakhir. Pulang kerja nanti, gue udah janjian sama Rio buat menginap semalam di hotel dekat sini. Rio dan gue udah mencari alasan ke orang tua masing-masing. Bilang aja capek karena Mal hari ini rame dan numpang menginap di kost-an teman. Simple but still, anak nakal, sering banget bohongin orang tua demi kesenangan pribadi.

Cowok yang gue tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dengan tas punggung berbahan kulit berwarna hitam, jaket cokelat yang itu-itu lagi, dan dengan rambutnya yang semakin gondrong, kehadiran dia berhasi mengobati rindu gue. Ah, words can't even describe how much I miss him. Selepas antrian di kasir udah kosong, gue berjalan cepat menghampiri Rio di luar area Bar.

"Rio..." ucap gue melebarkan tangan buat memeluk Rio. Para staf udah gak heran lagi melihat gue dan Rio saling nemplok kayak begini. Mereka malah memaklumi karena gue tanpa Rio itu hampa, udah kayak lagunya Ari Lasso. "Kangen..."

Cowok itu mengusap kepala gue seiring kami masih berpelukan. "Lo gimana? Sehat?"

Gue mengangguk, masih dalam pelukannya.

"Bawa motor hari ini?"

Dan kali ini gue menggelengkan kepala. "Nanti gue nebeng, ya."

"Iya." Balasnya tersenyum. There's a hidden meaning behind our conversation. Well, well, akting gue dan Rio boleh juga untuk diakuin.

"Pacaran aja, gih!" Celetuk Dika iri melihat gue dan Rio.

"Enggak, ah," guepun melepas pelukan Rio, "kalo kata Marcel, Tuhan memang satu, kita yang tak sama, Bang."

"Tai!" Dika si staf paling tua di cabang ini ketawa.

Dengan terpaksa pulang 15 menit lebih lambat karena jam ramainya pembeli di akhir pekan tuh emang gak bisa diprediksi. Gue pun berjalan menuju locker room untuk ganti baju selepas urusan perkasiran selesai. Tas biru muda yang tiap hari gue pakai emang besar, bisa memuat dua sampai tiga setel pakaian. Beruntungnya gue pakai tas ini adalah para staf gak ada yang tahu kalau didalam tas ini ada dua helai pakaian buat check-in nanti.

Tiba-tiba Rio masuk ke locker room tanpa ketuk pintu terlebih dahulu. Tubuh bagian atas gue cuma dilindungi oleh bra, and ofcourse, Sadirga Mario Wijaksana can't take his eyes out of my boobs. Dia tersenyum menyeringai, berjalan perlahan mendorong tubuh gue sampai ke tembok, sambil mengangkat kedua tangan gue.

Adalah fakta yang dibilang Tricia ke Vanno. Rio emang suka playing hardcore, and it's one of the evidences.

"Yo! Jangan di sini!" Bisik gue. "Nanti kalo ketahuan gimana?!"

Rio malah menghirup aroma leher gue ketimbang berhenti. "Pemanasan dulu sebentar."

Dengan buru-buru gue mendorong tubuhnya. Cowok satu ini kalo lagi birahi tuh emang gak tahu tempat! "Sabar, ih! Nanti aja pemanasannya!"

Dia cuma ketawa sambil menyentil kening gue. "Iya. Gue tunggu di luar, ya."

Percuma juga bagi Rio buat ngobrol sama para staf. Kondisi Kafe malah semakin ramai. Cowok itu terpaksa mengurungkan niatnya buat curhatin permasalahannya di cabang barunya.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang