Part Four : He Always Wear The Same Jacket

977 71 18
                                    

Gak ada yang spesial setelah Januari berlalu. Februari hingga menjelang akhir Mei adalah bulan yang biasa-biasa aja bagi gue. Hanya kinerja serta ilmu gue yang berkembang. Selebihnya? Enggak. Hubungan gue dengan Axel masih sama seperti dulu, gak ada kejelasan.

Ada kalanya gue berada disebuah titik dimana gue jenuh dengan hubungan ini. Kepastian adalah hal yang sangat gue butuhkan. Tapi bodohnya, gue gak berani untuk mengungkapkan hal itu kepada Axel. Ada kalanya pula prinsip "let it flow" yang udah sekian lamanya gue pegang terasa gak berguna. Iya. Membiarkan ini semua mengalir entah sampai kapan. Gue seperti cewek bodoh yang mengikuti alur permainan dan gak kunjung menemukan garis finish.

Perlahan gue semakin jenuh dengan ketidakpastian hubungan gue dengan Axel. Didalam lubuk hati ini mau banget menanyakan apa kejelasan hubungan kami, tapi jiwa payah didiri gue gak bisa dipungkiri. Begitu ketemu dia, gue merasa dicintai dengan tulus oleh cowok itu. Gue merasa seperti udah resmi menjadi pacarnya ketika kami bertemu.

We hold hands, we hugs, we acts clingy, but we never kiss.

20 Mei 2020. Hari ini adalah jadwal dimana seluruh staf akan dipanggil oleh Manajer untuk diberitahu hasil monitor evaluasi kinerja. Monitor evaluasi kinerja dilakukan setiap enam bulan sekali. Gue baru 5 bulan kerja di sini, mungkin, evaluasi sebelumnya dilakukan sebulan sebelum gue masuk. Gue menjadi orang kelima yang dipanggil oleh Manajer gue.

Ada empat lembar kertas dihadapan gue dengan beragam tulisan beserta angka. Dari total keseluruhan, gue mendapatkan nilai 75. Nilai yang cukup bagus untuk gue, meskipun ada beberapa hal yang harus gue improve.

"Ada satu hal yang mau gue tawarkan ke lo." Raynald merapihkan lembaran kertas tersebut.

"Apa, Kak Ray?" Kalau ini menyangkut pindah ke cabang yang lebih jauh, gue gak mau.

"Gue sepakat sama Vanno, Ayu, Dika, dan Rio kalau kita nunjuk lo buat jadi Senior Barista. Lo berminat?"

Wow. Ini adalah sebuah achievement. Keempat Senior Barista dan seorang Manajer di Moonbucks mempercayai gue untuk menjadi salah satu PIC alias Person In Charge, sekaligus menggantikan posisi Tiara yang udah pindah cabang sejak lima hari lalu. Rasanya gue bodoh kalau menolak kesempatan emas ini.

Raynald menjelaskan secara singkat seperti apa tanggung jawab seorang Senior Barista, dan dia juga meyakinkan gue kalau gue gak perlu khawatir akan bertambah banyaknya pekerjaan gue.

"Gak semua report lo yang ngerjain kok, Re. Minimal lo cicil aja, selebihnya biar over handle ke PIC lain."

Gue dapat bernafas lega setelah mendengar ucapan meyakinkannya. "Oke. Gue akan bekerja lebih giat lagi habis ini. Makasih udah percayain gue buat jadi Senior Barista, Kak."

Raynald memberikan senyuman lebar. "Kalo bingung tanya aja ke PIC. Rio yang baru naik jabatan 5 bulan lalu juga masih banyak belajar, tapi gak apa-apa kalau lo mau nanya dia.

"Cuma, hari ini Rio lagi kurang konsen. Jadi lebih baik lo tanya ke Vanno atau Ayu. Mereka yang paling bisa kalau ngajarin orang. Gue sama Dika kurang begitu pinter ngajarin secara praktek."

Perlahan kebingungan menghampiri pikiran gue. Emang, ada apa sama Rio? Tadi dia kelihatan baik-baik aja, masih bercanda sama gue kayak biasa. "Emang Rio lagi kenapa? I think he looks fine, kok?"

Kali ini Raynald menggelengkan kepalanya. "Dia ada masalah pribadi. Tadi dia ngerjain laporan online delivery dari e-mail, terus salah input data buat dipindahin ke Excel. Harusnya yang di-input Total Komisi, ini malah Total Biaya. Otomatis harus ngulang dari awal." Raynald menghela nafas, lalu menatap Rio dari kejauhan. "Gak biasa-biasanya Rio kayak gini."

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang