Part Twenty Four : The Seventeen Years Old Girl

480 40 2
                                    

Hampir beberapa kali dalam sebulan tuh rumah gue cuma dihuni oleh gue seorang diri. Punya bokap seorang dokter spesialis yang terkadang mengharuskan dirinya menginap di kamar dokter saat jaga, punya nyokap  selalu mengkhawatirkan anak bungsunya yang tinggal sendirian sementara demi kuliah. Mereka percaya bahwa gue bisa mengurus diri sendiri hanya karena satu hal.

"Kamu kan kuliahnya Perhotelan, pasti bisa masak, dong? Yaudah, ditinggal sendiri beberapa hari gak apa-apa, ya?"

Justru tinggal sendirian adalah hal yang paling gue suka.

Hari ini Rio menginap di rumah gue, tapi dia belum pulang ke rumahnya. Dia bilang, dia malas pulang. Lagian nanti juga gue dan dia nanti shift di jam 13.00. Makanya dia kepingin stay di sini sekalian berangkat kerja bareng.

"Orang tua lo gak akan pulang ke rumah dalam waktu deket ini, kan?" Katanya.

Gue menggelengkan kepala. "Kalo pulang juga mereka pasti ngabarin gue dulu, kok."

"Oke lah, aman." Balasnya menarik gue hingga berada dipelukannya.

Cuddling rupanya termasuk hal biasa dalam dunia friends with benefit. Tapi justru dimomen itulah perasaan mereka diuji. Rasa nyaman adalah rasa yang paling susah dihindari. Sekalinya seseorang merasa nyaman, mereka akan terus merasa nyaman sampai perasaan lebih dari sekedar nyaman bermunculan. Either sayang, or cinta.

"Enak ya kalo lagi cuddling pas cuaca lagi dingin."

"Ini mah bukan karena cuaca, Yo. Tapi AC kamar gue yang dingin!" Jelas aja dingin. We didn't wear anything under the air conditioner with 20 celcius degrees. Tubuh bugil kami cuma ditutupi sama selimut aja.

Cowok itu sedikit membangunkan tubuhnya hanya buat menunjuk ke jendela kamar gue. "Lihat aja sendiri. Awan gelap, mataharinya juga gak nongol. Pertanda apa?"

"Mau hujan."

"Salah. Mendung gak berarti hujan."

"Lah terus apa, dong?"

And then he suddenly puts his body on the top of mine. "Cakung Cipete."

"Hah?"

"Cuaca mendukung pengen nete." Lalu dia mulai mencium payudara gue sekaligus memberi 'tanda'.

/Rere's phone ringing/

Sial! Baru mau lanjut, tiba-tiba ada yang nelfon! I was just mad at first, mengira kalau itu nomor random yang menelfon. Ternyata Axel.

"Gimana ini, Yo?!"

"Angkat aja, sih. Gue tinggal diem."

"Dia video call!"

"Waduh!" Dia mulai kelabakan. Ini lebih bahaya lagi karena dia pakai video call. Entah udah kayak apa paniknya gue dan Rio. "Yaudah, gue ngumpet dibawah kasur lo dulu!" Rio langsung menyembunyikan dirinya disaat gue sibuk mengenakan pakaian. Gak lupa juga buat menyembunyikan barang-barang Rio, in case tas cowok itu kelihatan pas gue bergerak.

Gue menarik nafas sebelum mengangkat video call dari cowok itu. Gue harus kelihatan kalem, right? "Halo?"

"Oi! Baru bangun, ya?"

"He'eh..." gue berpura-pura mengucek mata kayak habis bangun tidur. "Kamu lagi dimana?"

"Udah di kantor, dong."

"Lah? Tumben cepet."

"Iya, lagi kepingin sarapan bubur ayam terenak didepan kantor."

Cowok itu menunjukkan gue tukang bubur langganannya, sekaligus menunjukkan teman-teman kerjanya yang kebanyakan laki-laki.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang