Part Twenty Two : The Evil Side Of Me

592 48 5
                                    

Akhir-akhir ini tuh gue punya goals baru. Menurunkan berat badan dan membentuk tubuh gue biar balik kayak dulu lagi. Terakhir gue 'memuaskan' Rio di rumah, Rio sempat mengomentari bentuk tubuh gue. Dia bilang, perut gue kelihatan buncit. Belakangan ini juga gue selalu tiduran kalau habis makan, tanpa gue sadari itu jadi salah satu pemicu perut buncit. Gue sama kayak banyaknya cewek didunia ini, langsung insecure ketika bentuk tubuh dikomentarin. Sejak saat itu, gue memaksakan diri untuk diet dan rutin olahraga.

Kalo dipikir-pikir... Rio selalu mengomentari gue yang jelek-jelek. Jarang banget gue dengar kalimat pujian keluar dari mulutnya. Cowok itu emang gak pernah melihat sisi bagus didiri gue.

Gue mulai membiasakan diri bangun jam 05.00 biar bisa jogging keliling perumahan selama satu jam. Perumahan tempat gue tinggal cukup nyaman buat dijadikan area jogging. Kalau kecapekan, gue selalu istirahat di salah satu spot dekat rumah huk di blok D (rumah gue ada di blok L, letaknya cukup jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki. Sekitar lima menit). Ada gazebo umum juga di sana, jadi gue bisa duduk sambil meluruskan kaki gue.

Pas gue mulai memasang sepatu untuk lanjut jogging, gue mendengar suara pintu dari rumah yang letaknya persis diseberang gazebo tersebut. Ada cewek berambut lurus sebahu, kelihatannya baru bangun tidur dan kepingin menghirup udara segar dari balkon kamarnya.

Gue gak melihat jelas siapa sosok itu, jadi, gue gak mempedulikannya dan lanjut jogging aja.

"Kak Rere?!" Suara itu terdengar dari arah tersebut. Gue langsung menoleh ke sumber suara and boom, gue baru tahu Hanna tinggal di kompleks yang sama seperti gue. Sesempit itukah bumi?

"Loh? Hanna?!"

"Ya ampun- sebentar, Kak! Aku turun ke bawah!" Sesuai permintaannya, gue menunggu dia. "Kak Rere sejak kapan tinggal di sini?!"

"Dari lahir aku udah di sini, kali! Kamu sejak kapan?!"

"Lah, aku juga dari kecil udah tinggal di sini!"

"Kok kita gak pernah papasan?!"

Didekat rumah Hanna juga ada pedagang sayur buka lapak setiap pagi, terkadang gue menemani nyokap gue belanja, tapi gue gak pernah melihat Hanna muncul dihadapan gue? I mean, jarak antara rumah Hanna dan lapak pedagang sayur juga cuma beberapa meter aja, loh. But then Hanna told me that she prefer to stay at her house. Dia cuma punya teman di lingkungan sekolah dan kuliahnya aja, dia gak berteman dengan orang-orang sebayanya di kompleks kami, literally satu orangpun gak ada. Mungkin, gue adalah orang pertama di kompleks yang berteman sama dia.

"Sering jogging, Kak?" Tanya cewek itu sambil mengucek matanya.

Gue menggelengkan kepala. "Aku jogging pas lagi diet aja. Kebetulan nih aku kepingin diet lagi gara-gara abis diceramahin orang soal bentuk badan aku."

Cewek itu menatap gue layaknya siap mengeluarkan semua nyinyirannya. "Ih, jahat banget mulutnya! Siapa yang bilang gitu, Kak?!"

"Itu, tuh! Cowok yang kamu puja-puja di Moonbucks!"

"Hah? Rio?" balas Hanna yang kini gak menatap gue nyinyir lagi. Dia kaget. Mungkin dipikirannya heran kok bisa-bisanya seorang Sadirga Mario Wijaksana ngomong begitu.

"Iya!"

Seketika cewek itu langsung diam. Hanna ini cewek baik-baik, gue gak berani menyakiti dia dengan cara sejahat yang gue lakukan ke Valen. Perhaps, dengan gue memberitahu dia sebuah fakta jelek tentang Rio, dia akan mikir dua kali.

"Nah loh, dia diem." Goda gue pada Hanna. "Baru tahu kan si Rio suka body shaming?"

"Iya, ih..." cewek ini bertolak pinggang dengan memberikan gue tatapan heran.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang