Part Twenty Eight : It's Just Misunderstood, He Said

467 36 10
                                    

"Re, ayo kita pulang." Axel masih sabar menanggapi suasana hati gue yang mendadak berubah. Perkenalan antara Sadirga Mario Wijaksana dengan cewek yang bahkan belum menginjak kepala dua ini benar-benar bikin semua orang menatap mereka penuh tanda tanya. Oh, terkecuali gue, bertanya-tanya sambil diiringi oleh meningkatnya tekanan darah gue.

"Axel, please, kalo aku bilang sebentar ya sebentar." Ucap gue tanpa membentaknya. Dari dulu, gue gak berani membentak Axel selain karena keteledorannya.

"Emang ada apa, sih?"

"Nanti aku ceritain." Gue melipat kedua tangan didada sembari menatap Rio dari jarak cukup jauh.

Reaksi yang Rio berikan kelihatan baik, entah cuma akting belaka atau emang tulus dari hatinya. Lagian, apa yang lo harapin sih kalo pacaran sama orang yang masih di fase pubertas? Kalau otak Rio masih waras, dia pasti akan menolak 'percomblangan' ini.

"Tante, mohon maaf nih, Mario gak bisa ninggalin kerjaan lama-lama. Mario pamit kerja lagi gak apa-apa kan?" Ucap cowok itu mulai berdiri dari kursinya.

"Oh- iya iya, tante yang harusnya minta maaf karena udah ganggu kamu lagi kerja." Tante oh tante, kalau saya gak punya rasa hormat, saya gak akan keberatan buat ngatain anda wanita gak tahu diri.

Beliau bersamaan dengan anak sulungnya yang dia bangga-banggakan itu juga langsung bergegas pulang. Mereka berpamitan ke seluruh staf, kecuali gue. Mungkin mereka gak sadar kalau gue adalah staf Moonbucks karena seragam gue ditutupi oleh sweater yellow mustard ini.

"Ayo pulang, Xel." Ucap gue melingkarkan tangan di lengan cowok itu sambil memberikan senyuman. Gue juga berpamitan ke seluruh staf, and ofcourse, memberikan sebuah pamitan spesial ke Rio. Gue menatap matanya intens layaknya memberikan sebuah ancaman buat cowok itu.

Besok, gue harus dengar penjelasan dari dia.

---

I told Axel tentang 'percomblangan' ibunya Rio dengan anak teman beliau. Sedari perjalanan sampai tiba di rumah gue, pembahasannya masih mengenai Rio. Dia bilang, Rio itu tampan sekaligus humoris, cukup gampang mencari pacar baru dengan modal begitu. Axel juga sangat menyayangkan sikap kedua orang tua Rio. Lagian, terlalu mementingkan tampang juga belum tentu isi hatinya secantik penampilannya.

"Kamu lihat gak sih, ekspresi anak-anak Moonbucks tadi?" tanya cowok itu pada gue.

Jelas gue gak lihat lah, daritadi aja mata gue gak lepas dari menatap Rio.

"Mereka pada heran, Re." Dan jelas mereka heran because the age fucking gap between Rio and the girl.

Alangkah lucunya dunia di tahun 2020 ini, masih aja gue nemu perjodohan gak masuk akal di kota. Gue ketawa sinis menanggapi ucapan Axel, sambil menendang pelan bebatuan kecil didepan kaki gue. Anyway, cuaca malam ini dingin karena hembusan angin kencang, tapi tubuh gue terasa panas gara-gara hati dan pikiran ini lagi membara.

Cowok dihadapan gue ini menyuruh gue untuk gak terlalu memikirkan urusan pribadi Rio. Dia bilang, masih ada urusan lebih penting yang harus gue pikirkan. Gue hanya menjawab dengan anggukan beserta senyuman palsu. Iya, senyuman palsu. Gue berakting seolah-olah kekhawatiran gue terhadap Rio hilang begitu cepat. In fact, ketika Axel beserta kendaraannya udah gak terlihat lagi di netra gue, gue masih memikirkan Rio.

Rasa takut dan marah seolah-olah tercampur jadi satu, hingga gue mulai memutar otak buat merencanakan sesuatu jahat. Okay, Gianina Arethusa. Rencanakan plan A sampai C lo dari sekarang. Pikirin hal utama apa yang akan lo gunakan kalau Rio dan cewek itu berpacaran. If you failed, then you have the plan B. if you failed twice, you still have the last plan. At least, gue mempercayai diri gue sendiri kalau salah satu dari ketiga rencana gue akan berhasil menyingkirkan Vanessa.

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang