Part Twenty Five : Me And My Overthinking Brain

447 36 4
                                    

It's been two days since Rio cerita soal Vanessa. Otak gue gak berhenti overthinking. Gue takut. Setakut itu kalau Rio kepincut sama anak sekolah. Gak henti-hentinya gue nanya ke beberapa orang soal percintaan age gap. Beberapa menganggap wajar, beberapa berbeda pendapat. Mereka yang kontra bilang, zaman sekarang tuh age gap dibawah 5 tahun masih bisa dimaklumi. Lebih dari itu, mereka malas buat berkomentar.

"Oi!" Vanno menjentik jarinya tepat dihadapan gue.

"Hah?" Gue tersadar gara-gara ada dua bar check didepan gue.

"New order tuh! Total 7 minuman! Bikin sana!" Ocehnya.

Gue gak berkutik, i choose to keep silent sambil langsung membuat minuman-minuman tersebut. Vanno kerap bertanya kepada gue, apakah gue sakit? Atau ada sesuatu lagi mengganjal pikiran gue? Kata cowok melambai itu, gue kelihatan sembilan puluh derajat berbeda dari biasanya. Gue kebanyakan diam dan bengong hari ini.

"Wak, gue pulang, ya!" Ucap Rio berpamitan. Hari ini dia masuk jam 12.00. Gue gak diberi tumpangan sama cowok itu karena gue masuk jam 14.00. Semua membalas ucapan pamit Rio, kecuali gue. Cowok itu sempat ingin mengusap dagu gue layaknya kucing buat pamitan, tapi gue menolaknya. Gue bilang, gue lagi gak mood hari ini.

Sedikitpun dia gak bertanya ada apa dengan diri gue. Gue sebal? Tentu. Setelah ibunya memperkenalkan Rio dengan anak sekolahan itu, dia jadi sedikit berubah. Dia jadi sering mengecek handphone-nya. Gue juga gak berani bertanya soal kelanjutan hubungan mereka because i'm afraid. Afraid of being jealous.

Waktu demi waktu udah berlalu. Gue dan dua orang lainnya udah selesai membersihkan seluruh area Kafe. Alit dan Rissa udah berada di luar Kafe menunggu Vanno selesai menghitung sales hari ini. Sedangkan gue memilih buat berdiam di locker room. Di telinga gue kepasang earphone yang memainkan lagu dari Yuna berjudul Castaway.

Entah kenapa, sesuatu mendorong gue buat membuka loker Rio. Besok cowok itu libur dua hari. Gue kepingin tahu apakah dia lupa membawa pulang apron-nya atau sebaliknya.

Ah. Lagi-lagi dia lupa.

"Mario... Mario." Ucap gue setelah menghela nafas. Gue melipat benda berwarna hitam itu untuk gue masukkan kedalam tas gue. Iya, gue akan mencuci apron itu lagi.

Tiba-tiba Vanno datang membuka pintu locker room. Dia melihat gue baru aja menutup loker Rio, beserta tangan kanan gue memegang apron dengan tertera nama Mario itu. Vanno melipat kedua tangannya sambil menatap gue serius.

"Dia gak bawa apron-nya lagi?" Tanya cowok melambai itu.

Gue cuma mengangguk lemas.

"Lo kenapa hari ini? Ada masalah?"

Kali ini gue menghela nafas pasrah. "Gak tahu kenapa gue ngerasa dia berubah."

"Dia siapa?"

Mulut gue malas untuk berkutik, membalas pertanyaan Vanno pun cuma dengan mengangkat apron-nya Rio.

"Berubah kenapa?" Tanya dia lagi.

"Lo laper, gak?" Ucap gue sembari memasukkan apron Rio kedalam tas gue. "Gue kepingin makan bakso deket kost-an lo. Sekalian gue ceritain."

Vanno mengangguk. "Yaudah, gas."

---

Sebutlah gue berlebihan. Lihat bakso kuah dengan bawang goreng aja membuat gue keingat ucapan Dika sama Alit.

"Rere sama Rio tuh ibaratkan bakso kuah, wak. Rere baksonya, Rio bawang gorengnya." Sahut Dika membuka pembicaraan.

"Kenapa harus gue yang jadi baksonya, Bang?!"

BREAK THE RULES ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang