Di apartemen sederhana, seorang laki-laki yang kurang lebih baru berumur 27 tahun itu tengah menyilangkan tangannya di depan dada sembari memperhatikan bidadari kecilnya.
Sementara itu, yang menjadi tersangka sepertinya tak menyadari akan kehadiran sang ayah yang sedari tadi mengawasinya.
"Ehm.."
Nana yang hendak memasukkan strawberry ke dalam mulutnya lantas mengurungkan niatnya kemudian menoleh ke belakang. "P-papa?" cicitnya.
"Siapa yang izinin kamu makan strawberry?" tanya Naren dengan kedua alis bertaut.
Perlahan Nana menaruh strawberry terakhirnya di mangkuk kemudian mengelap tangannya di baju.
"Ett.. ett! Ngapain lap tangan di baju?!"
Spontan Nana menjauhkan tangannya dari pakaian kemudian menundukkan kepala. "Maapin Nana, Pa.. stobelinya enak, jadi Nana makan semua.."
Naren menghela napas pelan kemudian memijit pangkal hidungnya, "Baru aja ditinggal sebentar, udah bikin ulah. Papa nggak suka lho Nana nakal kayak gini."
Anak manis yang sebentar lagi akan menginjak usia 5 tahun itu kemudian mengangguk pelan, terlihat menggemaskan sekali.
Naren sebenarnya tipikal orang tua yang baik dan penyayang, namun tak menutup kemungkinan jika ia bisa tegas di waktu tertentu, seperti saat ini. Semua ini dilakukannya agar putrinya itu tidak terlalu terlena oleh kasih sayangnya sehingga bisa bertindak semena-mena.
"Beresin mangkuknya!" ucap Naren dengan tegas.
Nana menganggukkan kepala kemudian mengambil mangkuk plastik itu menggunakan jari-jari mungilnya. Ia lantas bangkit dan berjalan menuju wastafel.
Naren tetap mengawasi putrinya yang naik ke atas kursi kemudian mencuci mangkuk di wastafel dengan asal-asalan.
"Papa, udah bersih!" Nana menunjukkan mangkuk basah yang dibawanya hingga tetes-tetes airnya berjatuhan di lantai.
Naren mengusap dada, setelah ini ia juga harus mengepel lantai yang basah karena ulah putri kecilnya itu. "Tangannya udah bersih?"
"Udah!" seru Nana antusias.
"Bibirnya?"
"Hmm.." Nana mengadahkan tangannya untuk menampung air kemudian membasuh bibirnya yang belepotan. "Udah, Pa!"
Naren tak bisa menyembunyikan senyumnya, putrinya itu selalu saja terlihat menggemaskan. Ia mengambil beberapa lembar tisu kemudian berjalan mendekat.
"Papa, biar Nana aja yang lap!"
"Bisa nggak?" tanya Naren.
"Bisa, Papaa."
Naren pun menyerahkan tisu tersebut lantas memperhatikan putrinya yang sibuk mengeringkan bibir dan tangannya. Tak sampai disana, bocah itu sempat-sempatnya mengelap mangkuk yang baru saja dicucinya.
"Udah."
"Sekarang mau ngapain?" tanya Naren.
"Hmm.." Nana menaruh telunjuknya di depan dagu. "Susu!!"
Naren terkekeh kemudian mensejajarkan tingginya dengan Nana. "Cium dulu kalo mau susu."
Cup. Tanpa menunggu lama, anak itu langsung mengecup pipi ayahnya.
Naren tersenyum lalu menggendong Nana menuju kamar. "Nana tunggu di kamar dulu ya, jangan nakal."
"Oke!"
Naren meninggalkan Nana di kamar kemudian mengepel lantai terlebih dahulu. Putrinya itu benar-benar hiperaktif dan tak jarang membuat Naren pusing tujuh keliling. Namun, senakal apapun Nana ia tetap sayang pada buah hatinya itu.
Naren menghela napas pelan kemudian memasukan sekotak strawberry ke dalam kulkas. Ia dan Nana baru saja pulang dari minimarket membeli 2 kotak strawberry, namun baru sebentar ditinggal ganti baju, satu kotak strawberry sudah raib. Ia tak mengerti kenapa putrinya suka sekali dengan strawberry, padahal dirinya sama sekali tidak suka dengan buah berwarna merah itu.
Selesai membersihkan dapur, Naren lantas membuatkan susu untuk Nana. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit karena ia sudah terbiasa membuat susu sejak putrinya berumur 1 tahun. Bukan tanpa alasan, Naren terpaksa harus mengurus semua pekerjaan rumah beserta putrinya sendirian karena mantan istrinya pergi meninggalkan mereka dan lebih memilih menikah dengan pria yang lebih kaya.
"A-akh!" Naren memekik tertahan saat tangannya tak sengaja terkena panci panas ketika sedang melamun. Ingatan masa lalu hanya membuat dadanya terasa sesak dan fokusnya jadi berkurang seperti ini.
Naren membasuh tangannya di bawah air mengalir kemudian cepat-cepat menyeduh susu untuk Nana karena tak ingin putrinya menunggu lebih lama. Setelah selesai, lelaki itu lantas menuju ke kamar dan..
"NANA!!!"
Nana terkejut bukan main ketika mendengar teriakan Naren, cepat-cepat ia menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh sembari menggenggam erat-erat crayon kesayangannya.
Naren duduk di atas tempat tidur sembari memijat pelipisnya, ia tak habis pikir dengan kelakuan putri semata wayangnya yang sangat kreatif itu.
"Siapa yang suruh coret-coret tembok hah?!" Naren meninggikan nada suaranya.
Nana beringsut ke pojokan karena takut dengan ayahnya yang sedang marah.
"Kamu bisa nggak sih, nggak buat Papa pusing sehari aja?!"
Mata Nana mulai berkaca-kaca, tampaknya sebentar lagi anak itu akan menangis.
"Papa capek.." lirih Naren. "Kerja, beresin rumah, ngurusin kamu yang nakal ini."
Nana masih terdiam, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Sekarang siapa yang mau bersihin temboknya?!"
Akhirnya tangisan Nana pecah, anak itu duduk di lantai sembari menangis keras-keras. Naren pun pasti akan merasa bersalah jika sudah memarahi putrinya sampai menangis.
Lelaki itu menghela napas pelan, memperhatikan putrinya masih menangis tersedu-sedu. Cukup lama ia membiarkan Nana menangis sampai akhirnya ia bangkit kemudian menggendong anak nakal itu.
"Udahan dong nangisnya, maafin Papa ya?" Naren mengusap air mata Nana.
"Na-na j-juga m-minta m-maaf," ucap Nana terbata.
"Iya sayang, lain kali jangan diulangi ya? Nana kan tau tempat menggambar itu di buku gambar bukan di tembok."
"I-iya, t-tapi buk-u g-gambarnya habis."
"Buku gambarnya habis?" tanya Naren. "Bilang dong sayang supaya Papa bisa beliin yang baru."
"I-iya t-tadi.."
"Udah udah, jangan nangis." Naren menenggelamkan kepala Nana di bahunya kemudian mengajak anak itu keluar kamar sembari menyanyikan nina bobo karena hari sudah mulai malam.
"S-susu.." cicit Nana dalam pelukan ayahnya.
"Oh iya, sampai lupa sama susunya." Naren pun kembali ke kamar kemudian mengambil susu yang ada di atas meja.
Lelaki itu menyibak poni Nana kemudian lanjut menyanyikan nina bobo sembari memperhatikan putrinya yang perlahan terlelap di pelukannya. Melihat tumbuh kembang buah hatinya entah kenapa membuat Naren merasa bahagia sekaligus bangga. Andai Karina masih ada di sisinya, hidupnya pasti akan terasa lebih sempurna.
🍓🍓🍓
To be continued...
Jangan lupa meninggalkan jejak berupa vote dan comment ya guys💚
KAMU SEDANG MEMBACA
DUREN (Duda Keren)
FanfictionPERHATIAN! Cerita ini akan menyebabkan oleng dari bias dan halu yang berlebih, tolong siapkan iman kalian. Bukan cuma itu, cerita ini akan membuat kamu ice moci sampai ubun-ubun dan juga mengabsen nama-nama hewan di kebun binatang. Jadi, sudah siap...