Naren terbangun dari tidurnya ketika Nana tiba-tiba menangis dengan keras. Setengah sadar ia menepuk-nepuk pantat anak itu namun tangisan Nana tak kunjung berhenti yang membuat Naren harus terjaga di pukul 12 malam ini.
Lelaki itu menyalakan lampu kemudian menggendong Nana, namun pergerakannya tiba-tiba terhenti ketika mengetahui bahwa suhu tubuh putrinya cukup tinggi. Segera Naren membuka laci dan mencari termometer untuk mengukur suhu Nana. Ia cukup terkejut ketika melihat termometer yang menunjukkan angka hampir 40 derajat celcius.
"Sayang, udah ya jangan nangis." Naren mencoba menenangkan Nana, namun usahanya itu nampaknya sia-sia.
Lelaki itu mengambil Bye-Bye Fever dari dalam laci lantas membuka plester dan memasang kompresan itu di dahi putrinya.
"Nggak mau!!" Nana terlihat tidak nyaman hingga ia melepas kompresan itu dengan paksa dan membuangnya ke sembarang arah.
"Sayang, dengerin Papa dulu ya," ucap Naren dengan sabar.
Nana terus menangis sampai batuk-batuk yang membuat Naren semakin khawatir.
"P-papa.. sakit.. uhuk uhuk!"
"Minum dulu, Sayang." Naren memberi Nana segelas air, namun anak itu malah memuntahkan airnya.
"Sakit!!" seru Nana.
Naren memberhatikan wajah Nana semakin memerah dan napasnya putus-putus. Sepertinya ada yang tidak beres. Tanpa menunggu lama, ia meraih jaket Nana beserta kunci mobil dan mengajak putrinya itu ke rumah sakit.
Naren berlarian di lorong apartemen kemudian menekan tombol lift dengan tak sabaran. Sesaat setelah pintu lift terbuka, ia langsung masuk dan menekan tombol menuju basement. Wajahnya langsung pucat pasi dan kakinya terasa lemas ketika melihat Nana sudah tak sadarkan diri di pelukannya.
"Nnana anak kuat, bertahan ya, Sayang," ucap Naren dengan suara bergetar.
Lelaki itu langsung keluar ketika pintu lift terbuka dan berlari menuju mobilnya. Tampaknya Naren begitu panik hingga beberapa kali kunci mobilnya meleset ketika ia hendak memasukkannya ke dalam lubang. Dengan tangan bergetar, ia memegang kemudi dan melajukan mobilnya di malam yang dingin ini. Nana dibiarkan duduk di pangkuannya karena ia takut putrinya itu akan terjatuh jika ia membaringkannya di kursi penumpang.
Tak sampai 10 menit, Naren sampai di rumah sakit dan Nana langsung dibawa ke IGD. Ia terduduk lemas di sebuah kursi sembari berdoa agar putrinya baik-baik saja. Lelaki itu tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada Nana.
"Permisi."
Naren mengangkat dagu dan melihat seorang perempuan mengenakan jas dokter tengah berdiri di hadapannya.
"Yang di dalam putri Anda?" tanya perempuan itu.
Naren bangkit dari tempat duduknya. "Iya, gimana keadaannya?"
"Silahkan ikut ke ruangan saya."
Tanpa berpikir panjang, Naren pun mengangguk dan mengikuti gadis itu menuju ruang praktiknya. Ia melihat papan nama yang terletak di atas meja bertuliskan dr. Nayla Gumilar, Sp.A. sama persis dengan name tag yang terpasang di jasnya.
"Dengan bapak siapa?" tanya Nayla.
"Narendra."
"Baik, jadi begini Pak Narendra, putri anda mengalami demam tinggi dan terkena infeksi saluran pernafasan. Penyebabnya bisa jadi karena imunnya melemah, lingkungan yang kurang bersih atau tertular dari orang yang sedang sakit."
"Tapi, sekarang kondisi anak saya baik-baik aja kan, Dok?" tanya Naren.
"Belum bisa dibilang baik-baik saja, ia harus dirawat disini selama beberapa hari."
"Segitu parahnya?"
Nayla tersenyum, "Ini biasa terjadi pada anak seusianya, Pak. Anda tidak perlu terlalu khawatir, ia akan membaik dalam beberapa hari."
Naren menghela napas pelan, "Syukurlah."
"Silahkan isi formulirnya dan serahkan ke bagian administrasi ya, Pak."
Naren mengambil kertas yang diberikan Nayla kemudian membacanya sekilas, "Baik, terima kasih."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi, matahari bersinar terang membuat Naren terbangun dari tidurnya. Ia meregangkan tubuh dan menatap putrinya yang masih terlelap di ranjang rumah sakit. Beruntung hari ini Minggu jadi ia tak perlu repot-repot meminta izin dari kantor.
"Selamat pagi~"
Naren menoleh ketika seorang perempuan masuk begitu saja ke ruang rawat Nana tanpa permisi.
"Nana biar saya cek dulu ya, Pak," ucap Nayla dengan ramahnya.
Naren mengangguk kemudian bangkit dari tempat duduknya dan memilih untuk membasuh wajahnya terlebih dahulu agar lebih segar.
Sementara itu, Nayla pun memeriksa Nana dengan hati-hati karena tak ingin mengusik tidur anak itu.
Nayla Gumilar, gadis yang lugu nan cantik itu sudah kurang lebih 2 tahun mengabdikan diri untuk menjadi seorang dokter anak. Alasan terbesarnya memilih profesi ini karena ia suka sekali dengan anak-anak. Ia bisa saja memilih profesi sebagai guru, namun gengsi kedua orang tuanya terlalu besar sehingga memaksa Nayla menjadi seorang dokter, maka dari itu ia memutuskan untuk menjadi anak yang berbakti tanpa menghilangkan kebahagiaan hidupnya.
Setelah memeriksa Nana, Nayla pun hendak pergi namun langkahnya terhenti ketika Naren baru saja keluar dari kamar mandi. Mereka hampir saja bertabrakan jika tidak sama-sama mengerem.
Nayla spontan menundukkan kepala ketika Naren menatapnya dalam waktu yang cukup lama.
"P-permisi," ucap Nayla.
"Gimana kondisi Nana?" tanya Naren alih-alih menyingkir.
"Hng.. Nana.." Entah kenapa Nayla tiba-tiba menjadi gugup dan blank seperti ini. Sementara itu, Naren terlihat menunggu jawabannya. "D-dia.. kondisinya mulai membaik."
Naren mengangguk. "Udah boleh pulang?"
"Kondisinya masih harus dipantau, tunggu sekitar dua sampai tiga hari lagi. Permisi." Nayla cepat-cepat pergi tanpa menunggu jawaban dari duda satu anak itu.
Nayla menyeka keringat di dahinya, entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdegup kencang seperti ini.
"Lo pasti udah nggak waras, Nay. Asli, lo udah gila!" Nayla mencak-mencak sendiri di koridor rumah sakit hingga membuat beberapa orang menoleh, namun ia tak terlalu mempedulikannya.
"Oy, napa lo?" tanya Sena, teman Nayla yang berprofesi sama sepertinya. "Habis shift malem kayaknya langsung gila."
"Gue emang udah gila!!" seru Nayla.
Sena tertawa kecil, "Sana istirahat dulu, kayaknya lo kurang tidur."
Nayla hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ruangannya.
"Permisi, Dokter."
Nayla yang hendak memutar gagang pintu lantas mengurungkan niatnya dan menoleh. "Iya, kenapa?"
Seorang suster yang kebetulan bertugas hari ini berjalan menghampiri Nayla. "Obat untuk pasien di ruang Kamboja VI apa saja ya, Dok?"
"Kamboja VI?" tanya Nayla
"Pasien atas nama Nana Adhyaksa."
"O-oh, iya. Saya baru saja dari sana," ucap Nayla. "Ini laporan kesehatannya."
Suster tersebut mengambil kertas pemberian Nayla kemudian membacanya sekilas. "Oh, baik. Terima kasih, Dok."
Nayla hanya mengangguk, tak ingin mengambil pusing, sepertinya kata Yeji benar. Dirinya kurang tidur hingga menjadi uring-uringan seperti ini.
🍓🍓🍓
To be continued...
Terima kasih sudah membaca^^
KAMU SEDANG MEMBACA
DUREN (Duda Keren)
FanfictionPERHATIAN! Cerita ini akan menyebabkan oleng dari bias dan halu yang berlebih, tolong siapkan iman kalian. Bukan cuma itu, cerita ini akan membuat kamu ice moci sampai ubun-ubun dan juga mengabsen nama-nama hewan di kebun binatang. Jadi, sudah siap...