29. Dilema

843 99 44
                                    

Malam semakin larut, namun Nayla masih saja menatap kosong deburan ombak yang bergerak dengan tenang. Bulan purnama serta angin malam membuat dirinya merasa lebih tenang. 

Jujur saja, ia tidak bisa berpikir jernih dan lebih memilih untuk pergi daripada berdebat dengan suaminya. Hatinya terasa sakit dan dadanya pun kembali sesak mengingat kejadian tadi siang.

"Permisi.."

Nayla menoleh ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya.

"Namanya siapa?"

"Nayla."

"Nayla, ini udah hampir jam 2 dini hari. Saya perhatiin dari tadi kamu ngelamun terus."

Nayla memalingkan wajah, enggan menanggapi pertanyaan bapak-bapak itu.

"Orang-orang di rumah Nayla pasti lagi khawatir."

"Mancing ya, Pak?" tanya Nayla mengalihkan pembicaraan.

"Iya," Bapak itu tersenyum sembari melihat beberapa ikan hasil tangkapannya.

"Mending sekarang kamu pulang, Nak. Selesaikan masalahnya baik-baik. Kabur itu nggak akan menyelesaikan masalah sama sekali."

Nayla menghela napas pelan kemudian kembali menatap deburan ombak.

"Nih, saya kasi ikan deh biar kamu mau pulang."

"Eh- nggak usah, Pak. Saya pulang sekarang," ucap Nayla kemudian bangkit dari tempat duduknya.

"Hati-hati di jalan ya, Nak."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Akhirnya Nayla pun memutuskan untuk pulang, lagipula dirinya sudah cukup tenang untuk menghadapi Naren. 

Tepat pukul 2 lebih 15 menit gadis itu sampai di apartemennya. Ia menekan password lantas membuka pintu dengan pelan.

"Nayla? Ya ampun aku khawatir banget sama kamu, Nay. Aku sama Nana nyariin kamu kemana-mana tapi nggak ketemu juga."

Nayla bergeming ketika Naren memeluknya dengan erat, dilihatnya Nana yang sudah tertidur pulas di ruang tengah.

"Kamu darimana aja sih? Mana keluar nggak pakai jaket, angin malem nggak baik buat kesehatan, Nay." Naren menutup pintu kemudian mengajak istrinya itu masuk. "Kamu mau aku buatin coklat panas? Atau kamu laper? Mau aku masakin apa?"

Nayla menggeleng pelan kemudian duduk di sofa, kepalanya terasa pusing, mungkin karena terkena angin pantai dan habis menangis.

"Nay, kamu boleh marah sama aku, tapi jangan siksa diri kamu kayak gini," ucap Naren mengambil posisi duduk di sebelah sang istri.

Nayla menunduk sembari memijat pelipisnya, ia hanya bisa menyusahkan Naren namun suaminya itu masih saja bersikap lembut kepadanya.

"Mending kamu pukul aja aku, nggak apa-apa kok," ucap Naren. "Aku memang salah, aku pembohong, aku nggak bisa jaga perasaan kamu. Aku minta maaf, Nay."

"Mas.."

"Aku sama Karina beneran nggak ada hubungan apa-apa, Nay."

"Udahlah, lupain aja, Mas. Kepalaku pusing."

Naren menghela napas pelan, "Yaudah, mending sekarang kamu istirahat aja."

Nayla pun bangkit dan berjalan menuju kamar, sementara Naren masih sibuk dengan pikirannya di ruang tengah.






...







"Ayo masuk, Mas."

Naren pun melangkahkan kakinya dengan ringan masuk ke dalam kamar kos itu. 

"Sebentar, aku buatin kopi dulu."

"Oke."

Karina lantas pergi ke dapur dan tak lama kemudian kembali membawa secangkir kopi. Perempuan itu menyajikan kopi di meja lantas duduk di hadapan Naren.

"Minum dulu, Mas."

Naren mengangguk lalu meminum kopi buatan mantan istrinya itu. "Kopi buatan kamu emang nggak ada yang ngalahin, rasanya masih sama."

Karina terkekeh pelan, "Kita kan cukup lama tinggal satu atap, Mas. Aku hafal sama apa yang kamu suka."

"Oh iya, aku bawa makanan."

"Kamu yang masak?" 

Naren mengangguk, "Makanan kesukaan kamu."

"Mas Naren udah sarapan?"

"Belum." 

"Yaudah, ayo makan sama-sama."

Naren tersenyum kemudian menganggukkan kepala. Bersama Karina membuatnya kembali mengenang masa lalu mereka yang begitu indah.

"Gimana? Enak?" tanya Naren.

"Banget!!"

Naren lantas tersenyum dan mengusak pelan surai gadis itu, sama seperti yang dilakukannya ketika masih pacaran dulu. "Makan yang banyak ya."

Karina menunduk malu kemudian mengangguk.

"Kepala kamu udah nggak sakit lagi kan?"

"Hmm.. kalo aku bilang udah nggak sakit.. apa kamu mau pergi?" pelan Karina.

Naren menghela napas berat, "Karina, aku udah punya istri."

Karina menunduk, nafsu makannya pun hilang begitu saja. "Apa Mas Naren udah bener-bener lupain aku?"

"Sejujurnya aku nggak bisa lupain kamu. Kenapa kamu baru datang sekarang, disaat aku baru aja nikah? Kenapa nggak dari dulu?"

"Mas, aku masih sayang sama kamu."

"Iya, tapi.." Naren memijat pelipisnya.

"Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, Mas. Aku minta belas kasihan dari kamu. Aku juga udah nggak peduli sama harga diri aku, Mas," ucap Karina. "Kalo perlu aku berlutut sama kamu."

"Eh- jangan." Naren menahan tubuh Karina. "Kamu nggak perlu ngelakuin itu."

"Aku bener-bener nyesel ninggalin kamu, Mas. Aku minta maaf.." Karina terisak pelan.

Naren menghela napas kemudian menarik wanita itu ke dalam pelukannya, "Jangan nangis, aku paling nggak bisa liat kamu nangis."

"Mas, kita bisa kan ulang semuanya dari awal lagi? Aku bakal jadi istri yang baik, jadi ibu yang baik juga buat anak kita."

"Karina-"

Naren langsung bungkam ketika Karina mencium bibirnya. Wanita itu memang pintar sekali memuaskan nafsu pria. Ia mendorong Naren hingga pria itu terbaring di sofa. 

"Kamu-"

"Sebentar aja, Mas." Karina membuka kancing kemeja Naren kemudian kembali mendaratkan ciuman di bibir pria itu.

Permainan pun terus berlanjut dengan Karina yang lebih mendominasi, sementara Naren hanya mengikuti alurnya saja.

"Aku kangen banget sama kamu, Mas.." ucap Karina diikuti desahan kecil.

"Aku juga.."

"Bisa kan kita ulang semuanya dari awal?"

"Aku usahain ya."

Karina tersenyum manis kemudian kembali mencium bibir Naren dengan lembut.

🍓🍓🍓















To be continued...

Banyak setan di kos karina👻

DUREN (Duda Keren)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang