Ponsel di atas meja bergetar. Irene mengalihkan pandangan dari layar laptop dan membuang napas kesal menyaksikan satu nama terpampang.
"Apa-apaan ini? Kenapa susah sekali menghubungimu?" semprot lelaki di seberang telepon.
Irene memang sudah mengantisipasi dengan tidak merapatkan ponsel ke telinga. Kalau tahu begini, dia tidak akan membiarkan Sehun tahu nomor barunya. Adik sambungnya itu bahkan bisa sampai tiga kali menghubunginya dalam sehari.
"Bisakah kau berhenti menelponku? Kau benar-benar mengganggu!"
"Aku hanya ingin tahu kabarmu hari ini."
"Kalau kau begini terus akan kublokir nomormu!" ancam Irene.
"Kau sudah janji tidak akan mengabaikanku!" Sehun tak mau kalah.
"Aku tidak mengabaikanmu! Kau pikir aku hanya main-main di sini? Kerjaanku banyak!"
Hampir tiga pekan Irene pindah ke Shanghai dan Sehun selalu berhasil merecoki hidupnya meski dari negara yang berbeda. Hidup Irene sepertinya tidak akan benar-benar tentram sebelum Sehun musnah dari muka bumi. Sayangnya, itu adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkan Irene.
"Memangnya kau sibuk apa?" Nada bicara Sehun terdengar meremehkan.
"Di sini benar-benar kacau. Aku tidak menyangka Ayahmu akan mewariskan perusahaan seberantakan ini padamu. Berterimakasihlah padaku karena sukarela menggantikan posisimu. Kalau tidak kau hanya akan semakin gila di sini."
"Ucapanmu cukup menyinggung perasaanku, kau tahu?" Sehun berdesis.
Irene mengulum bibir agar tawanya tak sampai lepas.
"Psikisku hanya sedikit bermasalah! Aku tidak gila! Mana ada orang gila tampan sepertiku!" geram Sehun.
Tawa Irene akhirnya pecah, tak lagi sanggup terbendung, sementara keheningan melanda di seberang sambungan. Irene membayangkan wajah Sehun yang ditekuk kesal sekarang.
"Aku senang mendengarmu tertawa." Sehun tiba-tiba berbicara dengan nada melembut. "Sepertinya aku tidak perlu mengkhawatirkanmu lagi di sana."
"Khawatirkan dirimu sendiri. Aku baik-baik saja," celetuk Irene.
"Tidak lama lagi pengobatan tahap pertamaku selesai. Aku akan berkunjung ke sana."
"Bagaimana, ya? Aku tidak ingin melihat wajahmu." Irene mencemooh.
Terdengar seringaian Sehun, "memangnya siapa bilang aku mau menemuimu? Aku hanya bilang akan berkunjung ke sana bukan berarti menemuimu."
"Dasar!" dengus Irene.
Tiba-tiba ada suara lain menyusup. Kedengarannya seperti Wendy yang mendesak Sehun mengakui jika lawan bicaranya adalah Irene.
"Aku sedang bicara dengan pacarku, jangan mengganggu!" gerutu Sehun.
"Halo? Ini Irene, kan? Halo?"
Tampaknya ponsel Sehun berhasil direbut Wendy, dan sungguh tidak sopan jika Irene langsung memutus sambungan.
"Bagaimana kabarmu?" Irene akhirnya buka suara.
"Kau jahat! Bagaimana bisa kau pergi tanpa mengatakan apa pun padaku? Aku tahu kau putus dengan Suho, tapi apa kau juga harus memutus pertemanan kita? Sepertinya memang hanya aku yang menganggap kita berteman. Kau memandangku tidak lebih dari seorang karyawan."
Suara Wendy bergetar. Irene tahu dia berusaha keras menahan tangis.
"Maafkan aku, Wendy."
"Hanya itu yang bisa kau katakan padaku?"
Banyak yang ingin Irene katakan, tapi bibirnya kelu. Tenggorokannya berubah pahit, dan sebelum tangisnya menyeruak, ia segera menutup telepon.
Dari luar, ia mungkin terlihat baik-baik saja. Sepanjang hari bekerja tanpa kenal lelah. Di waktu luang ia memesan berbagai makanan kesukaannya atau menonton film favoritnya. Di akhir pekan, ia pergi berbelanja, mengunjungi toko-toko yang berhasil memikat perhatiannya atau hanya sekadar jalan-jalan mengamati hiruk-pikuk Kota Shanghai.
Namun, ketika langit malam telah bertakhta segalanya berubah gelap. Irene kembali terperosok dalam kubangan mimpi buruk. Hatinya kembeli menjerit, tak sanggup menghapus bayang-bayang Suho dari benaknya. Dan yang paling menyakitkan dari semua itu, hanya ada dingin yang memeluk.
Irene sama sekali tidak menyesali keputusannya, hanya saja dia merindukan Suho. Dan entah kapan rindu itu berhenti menyiksanya.
****
Aliran house music memekik kuat dari sistem audio yang terpasang di segala penjuru gedung. Kerlap-kerlip lampu disko serta pancaran laser yang terang dan kuat menambah hiruk-pikuk suasana di sana. Suho menghirup aroma alkohol yang cukup kuat dari gelasnya dan meneguknya hingga menyisakan es batu saja. Kepalanya sudah terlalu pening, tapi minuman pahit dan panas itu sudah menjadi candu baginya.
Sejak kehilangan jejak Irene, hari-hari Suho hanya diwarnai dengan diskotik dan minuman. Dia juga bukan lagi sosok yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Di kantor, dia hanya membubuhkan tanda tangan secara asal dan menyerahkan semua keputusan pada Chanyeol.
Hidupnya jadi amburadul.
"Hai, butuh teman?" seorang wanita tiba-tiba datang meletakkan tangannya di pundak Suho.
Suho meringis dan menepis, sama sekali tidak tergoda dengan lekuk tubuh yang berbungkus pakaian minim itu.
"Aku tidak butuh wanita," ujarnya.
Untuk kesekian kalinya Suho meminta pramutama bar menuangkan minuman ke gelasnya, lalu kembali ia teguk sampai habis. Gara-gara wanita itu, Suho jadi tak ingin lama-lama di sana. Dengan pandangan yang tidak begitu jernih, ia berusaha bangkit. Rasanya ada batu besar menindih kepalanya, membuatnya terhuyung-huyung.
Wanita tadi seakan mengambil kesempatan memegangi tubuh Suho. Berhasil dibuat kesal, Suho mendorong wanita itu hingga tersungkur ke lantai.
"Siapa yang mengizinkanmu menyentuhku, hah?!" bentak Suho sempoyongan.
"Apa-apaan kau?" Seorang lelaki berahang tegas menghampiri Suho.
Suho kembali menyeringai, "menjijikkan!"
Suasana berubah panas. Lelaki itu seketika melayangkan tinjuan ke wajah Suho. Suho yang sudah terlalu mabuk langsung tergeletak di lantai. Dia berusaha bangkit agar bisa balik menyerang, tapi gagal. Beberapa orang malah mendekati dan ikut mengeroyoknya.
Rasa mabuk dan sakit di sekujur tubuhnya bersatu mengepung Suho, tapi perih di hatinya sama sekali tidak terkalahkan. Perih itu telah berakar di sana menyiksa Suho. Tanpa ingin mereda meski sebentar saja.
****
Baru saja membuka mata dari tidur, Irene langsung diserang pening di kepalanya. Tubuhnya lemas. Perutnya terasa kurang nyaman. Puncaknya ketika ia mencoba menyantap sarapan di tengah rasa tak nyaman itu, rasa mual yang hebat mengocok lambungnya.
Terhuyung-huyung ia berlari ke kamar mandi. Menumpahkan cairan dari lambungnya yang ia yakini sebagai penyebab rasa mualnya. Jangan-jangan xiaolongbao (roti kukus) yang ia santap semalam sudah tak layak konsumsi!
Ditempelkannya telapak tangan ke dahi. Sepertinya dia demam. Belakangan dia memang kerap begadang membereskan satu demi satu pekerjaannya yang menumpuk. Dan hari ini tentu tak ada waktu untuk bermanja-manja dengan rasa tak nyaman di tubuhnya.
Sampai di kantor saja dia langsung disambut setumpuk dokumen yang dibawa Ningning, wanita asli Tiongkok yang mahir berbahasa Korea.
"Saya juga mau mengingatkan, besok kita ada rapat evaluasi dengan jajaran direksi," kata sekertaris barunya itu.
Waktu begitu cepat berlalu, tahu-tahu besok sudah memasuki bulan baru. Tapi, ada satu hal yang berhasil menampar Irene. Ketika Ningning meninggalkan ruangan, Irene menyambar kalender di atas meja.
Bisa-bisanya dia baru menyadari sudah hampir dua bulan tidak kedatangan tamu bulanan, padahal sebelumnya ia tak pernah terlambat.
Cemas seketika membanjiri. Tidak mungkin itu terjadi!
Bersambung_
![](https://img.wattpad.com/cover/153682446-288-k432179.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
Fiksi PenggemarMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? Bahwa suatu hari nanti kau bisa mencintaiku, meski tak sebanyak aku mencintaimu. - Irene Percayalah, Irene bukan seorang wanita jahat. Dia hanya melakukan apapun yang...