"Ayah... Ayah..."
Suara itu membisik di telinga Suho. Awalnya, ia abaikan karena belum rela berpisah dengan lelap. Namun, tangan mungil itu mulai mengguncang lengannya. Dia pun membuka mata. Gadis kecil berambut sebahu yang cukup acak-acakan menatapnya tanpa dosa.
"Kenapa, Sayang?" tanya Suho dengan suara parau.
"Adik menangis. Aku juga belum sikat gigi," jawab gadis itu, mengerucutkan bibir.
Kalau sudah begini, Suho tidak mungkin sanggup mengabaikan malaikat cantik bak perwujudan Irene versi mini. Bahkan tanpa merenggangkan tubuh, Suho segera bangun, tak lupa memberi kecupan pagi hari di kening sang putri.
Sebelum beranjak, ia menoleh lagi ke ranjang dan bagian sebelahnya kosong melompong. Dia meraih ponsel di nakas dan menemukan sebuah notifikasi dari istrinya.
Sayang, aku ada urusan mendadak di kantor.
Tolong jaga anak-anak. Sarapan sudah kusiapkan di meja.
Jangan lupa ajak mereka main di taman. Matahari pagi bagus untuk pertumbuhan mereka.
Sampai ketemu nanti sore.Tidak lupa istrinya menambahkan simbol hati sebanyak mungkin. Senyum segera mekar di wajah Suho. Berusaha mengerti tuntutan pekerjaan istrinya yang kali ini harus menghabiskan akhir pekan di kantor. Dia pun menggenggam tangan mungil putrinya dan bergegas menuju kamar sebelah.
Putra kecilnya yang sebulan lagi akan berulang tahun yang pertama ternyata sudah bangun dan terisak di ujung box bayinya. Suho segera menghampiri dan menggendongnya, menepuk-nepuk pelan punggungnya hingga tangisnya mereda.
"Jagoan Ayah kenapa menangis, hm?" Suho menyeka air mata di pipi semok putranya.
"Ayahhh, aku mau sikat gigi!" Giliran putrinya yang menjerit.
"Oke, Sayang. Maafkan Ayah."
Dengan sebelah tangan menggendong si kecil dan satunya lagi menuntun putrinya yang berusia empat tahun menuju kamar mandi.
Hari ini menjadi hari yang cukup sibuk bagi Suho, tapi juga menyenangkan. Dia tidak bohong. Capek sudah pasti. Namun, ia lebih suka lelah bermain sepanjang hari bersama anak-anaknya ketimbang terjebak di kantor dengan tumpukan pekerjaan dan rasa rindu pada mereka.
Dia bahkan tidak sadar kalau langit mulai menua di luar sana. Putranya sudah tertidur lelap di sofa ruang tengah, sementara ia menemani putrinya memilih pensil warna untuk ditorehkan pada buku mewarnai pemberian Sehun ketika berkunjung minggu lalu.
Suara tombol sandi kemudian terdengar. Putrinya segera berlari ke arah pintu aparteman sambil berseru.
"Ibuu!!!"
"Hai, Sayang."
Irene segera meletakkan barang bawaannya ke lantai dan bertekuk memeluk sang putri.
"Sudah mandi?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Sudah makan?"
Dia mengangguk lagi.
"Adik mana?"
Telunjuknya yang mungil mengarah ke bagian dalam apartemen.
"Sudah tidur," sahutnya.
Detik itu juga Suho muncul, bersedekap menyandarkan diri di salah satu dinding. Irene segera menyunggingkan senyum ke arahnya seraya mengacungkan jempol.
"Ayah hebat!" pujinya.
Suho membusungkan dada, "Ayah terhebat di dunia," imbuhnya.
Dirinya segera mendapatkan hadiah berupa kecupan singkat di bibir.
"Terima kasih, Sayang," gumam Irene, berlalu bersama putrinya.
Mungkin Suho harus lebih sabar menanti larut malam untuk menikmati ciuman panas sang istri. Dia pun membersihkan pikiran sebelum menyusul mereka. Bergabung bersama keluarga kecilnya yang begitu berharga.
"Sayang, dia baru saja tidur," tegur Suho tatkala mendapati Irene malah menciumi pipi putra mereka sampai bayi itu menggeliat.
"Aku gemas sekali," katanya geregetan. "Oh iya, aku punya kabar baik."
"Apa itu?"
Hening sebentar. Irene menatap Suho dan putrinya bergantian seraya menahan senyum.
"Bulan depan kita pindah ke Seoul!"
Suho dan putrinya seketika bersorak kegirangan, bahkan sampai membangunkan putra bungsu mereka. Namun, kesenangan Suho terlanjur pecah. Dia menaikkan putrinya ke atas pundak dan berlarian di apartemen. Irene pun segera menggendong bayi mereka sebelum tangisnya pecah dan membawanya masuk ke kamar.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanfictionMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? Bahwa suatu hari nanti kau bisa mencintaiku, meski tak sebanyak aku mencintaimu. - Irene Percayalah, Irene bukan seorang wanita jahat. Dia hanya melakukan apapun yang...