EMPAT PULUH

1.2K 170 26
                                    

Menempuh penerbangan kurang lebih dua jam, Suho akhirnya sampai di sebuah rumah sakit ibu dan anak. Tubuhnya bergeming, pandangannya tersihir oleh sosok mungil dalam inkubator. Jari-jari dan wajahnya begitu kecil, tapi berhasil menggebu-gebukan hasrat Suho untuk meruntuhkan dinding kaca yang menjadi pembatas antara mereka demi bisa menggendong atau sekadar menciumnya. Wangi bayi pasti sangat memabukkan, pikirnya.

"Kau ke mana saja? Nenek mencarimu." Siwon datang menghampiri, merusak kesyahduan dengan topik pembicaraannya.

Suho menoleh dan mencoba tersenyum, meski dalam hati ingin mengumpat. "Selamat atas kelahiran putramu. Maaf, aku buru-buru ke sini, jadi belum sempat mencari hadiah."

"Tidak masalah. Kau bisa memberinya seperempat sahammu saja."

Mereka terkekeh, namun tak bertahan lama. Suasana segera jatuh dalam keheningan. Suho sibuk sendiri dalam benaknya.

"Bagaimana rasanya menjadi Ayah?" Dia kemudian bertanya tanpa menoleh. Lebih suka memandangi keponakannya di sana, menunggu sewaktu-waktu ia terbangun dan tersenyum mengenali Pamannya.

"Luar biasa. Pertama kali mendengar tangisnya, rasanya aku berubah menjadi superhero yang bertanggung jawab penuh atas kehidupannya mulai sekarang. Semut pun tidak akan kubiarkan bisa menggigitnya."

Suho berusaha menelaah setiap kata yang ia dengar. Dia juga ingin menjadi pahlawan super bagi kehidupan anaknya kelak, bagi keluarga kecilnya yang dibangun bersama Irene. Namun, berbeda dengan sang Kakak yang cukup melintasi jalan setapak di taman yang penuh semerbak bunga dan pepohonan rindang, dia harus membelah hutan belantara yang penuh kebuasan di dalamnya. Entah, dia bisa keluar dalam keadaan selamat meski berlumuran darah atau malah mati ditelan semesta.

Dering ponsel berbunyi. Suho menoleh dan mendapati Siwon menatapnya sebentar sebelum mengangkat telepon.

"Iya, Nek."

Suho menahan napas, tapi berusaha tetap terlihat rileks.

"Ya, dia bersamaku sekarang."

Jantungnya semakin berdebar saat Kakaknya menjauhkan ponsel dari telinga dan kembali menatapnya. Sinar matanya berbeda dengan beberapa detik yang lalu. Ada kekhawatiran di sana yang mungkin sudah disembunyikan sejak awal.

"Nenek menyuruhmu menemuinya segera," ujar Siwon. "Kau baik-baik saja? Kudengar pertunanganmu dibatalkan dan Nenek mengancammu agar tidak bertemu Irene."

Tidak ada yang baik-baik saja bagi Suho, tapi mengadu pun percuma. Dengan susah payah ia angkat ujung-ujung bibirnya membentuk sekilas senyum, berharap hasilnya tak terlalu mengerikan.

"Aku baik-baik saja. Kalau begitu, aku pergi dulu." Suho lalu menjabat tangan Kakaknya. "Sekali lagi selamat telah menjadi Ayah. Aku akan menemui keponakanku lagi nanti."

"Dengan beberapa lembar saham beratasnamakan dia," sambung Siwon.

Suho meringis. "Kalau berebut saham denganmu aku jelas bersedia, tapi dengan keponakanku..." Sebelah alisnya terangkat, "Aku tidak mau membayangkannya."

Setelah membalikkan punggung dan mengambil beberapa langkah, Suho berhenti. Lidahnya terlalu gatal untuk tetap diam. Dia akhirnya menoleh.

"Seorang adik bukan hadiah yang buruk, 'kan?"

Dia pun berhasil meninggalkan sang Kakak dengan kerutan di dahi.

****

Saat memutuskan pergi ke Shanghai menemui Irene, Suho memang sudah siap dibunuh jika ketahuan Neneknya. Namun, setelah mengetahui kehamilan Irene, dia akan melakukan apa pun agar bisa bertahan hidup meski Nenek menyayatnya berkali-kali dengan koleksi samurai milik mendiang Kakeknya yang tersusun rapi dalam sebuah lemari kaca tepat di belakang sofa yang diduduki Nenek.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang