TUJUH BELAS

2.3K 318 128
                                    

Irene tidak tahu apa yang ia lakukan saat ini. Duduk di hadapan Nenek Suho dengan tangan yang memegang secangkir teh hangat. Berusaha memasang wajah tenang, padahal jiwanya gelisah tidak karuan.

Beberapa menit sebelum jam kantor usai, Nenek Suho menghubunginya. Mengatakan rindu ingin bertemu dan mengundang ke rumah untuk minum teh bersama. Irene yang kalut pun tidak ada pilihan lain selain mewujudkan keinginan Nenek Suho.

"Nenek! Nenek!"

Suasana hening di senja hari pecah seketika saat suara lantang Suho tiba-tiba menggema di seluruh sudut ruangan, bahkan terdengar hingga di taman belakang dekat kolam renang. Tempat Nenek dan Irene menghabiskan waktu.

Tidak lama kemudian, sosok Suho muncul di hadapan mereka. Sesaat ia tampak terkejut melihat Irene, tetapi segera mengalihkan tatapannya yang penuh bara api ke arah Neneknya.

"Jujur padaku, Nek. Nenek kan dalang semua ini?"

"Apa maksudmu?" Nenek Suho mengerutkan kening.

"Appa-nya Jisoo meninggal. Dia ditabrak dan tewas di tempat kejadian, sedangkan pelakunya melarikan diri."

"Apa?!" Irene sontak bangkit. Saking kagetnya, cangkir dalam genggamannya lepas dan terpelanting pecah di lantai.

"Ini ulah Nenek kan?" timpal Suho lagi.

Berbeda dari keduanya, Nenek Suho malah memberi kesan santai. Sambil menyeringai ia berkata, "Mungkin itu sudah takdirnya. Kenapa kau malah menyalahkan Nenek?"

Suho dan Irene kompak menghunjam Nenek dengan pandangan mereka. Bagaimana bisa Nenek melontarkan ucapan seperti itu?

Rahang Suho mengeras. Tangannya terkepal kuat.

"Aku akan menyelidikinya sendiri. Kalau sampai terbukti Neneklah di balik semua ini..." Suho menggantung ucapannya. "Aku tidak akan memaafkan Nenek sampai kapan pun. Aku juga akan keluar dari sini dan meninggalkan semuanya. Aku akan kembali pada Jisoo!"

"Jaga ucapanmu!" hardik Nenek Suho, mulai naik pitam. "Silahkan saja kau menyelidikinya, toh juga Nenek sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian ini."

Tidak ada sahutan dari Suho selain tatapan penuh murka kepada sang Nenek. Dia lalu berbalik badan meninggalkan tempat. Sementara Irene yang menjadi satu-satunya pendengar di sana melemas dengan hantaman keras di balik dadanya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi berusaha keras menahan agar tidak menitikkan air mata. Dia takut sekaligus sakit.

Namun, Irene segera tersadar. Dia tidak bisa berdiam diri di sana. Dengan mengumpulkan puing-puing keberanian yang dimiliki, ia segera menyusul Suho.

"Aku susul Suho dulu, Nek," pamitnya.

Pemuda itu telah masuk ke dalam mobilnya ketika Irene sampai di halaman rumah. Irene bergerak cepat ke arahnya, membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Dia langsung mendapat tatapan penuh pertanyaan dari laki-laki di sampingnya.

"Aku ikut. Bagaimana pun juga Jisoo karyawanku," tukas Irene.

Tanpa bicara, Suho pun melejitkan mobilnya. Irene segera memasang seat belt lalu duduk membungkam mulut. Pikirannya kacau balau. Satu sisi ia takut Suho mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, namun di sisi lain ia merasa sangat menyesal telah meninggalkan Ayah Jisoo saat kejadian. Seandainya saja ia turun dan segera menolong, Ayah Jisoo mungkin masih bisa diselamatkan.

****

Tiba di rumah duka (jangraeshikjang) di salah satu rumah sakit Seoul, Suho bergegas keluar dari mobil dan pergi begitu saja tanpa menunggu Irene yang baru melepas seat belt-nya. Melihat sikap tunangannya itu sontak meluluhlantakkan hati Irene. Ingin rasanya ie menangis detik itu juga, tetapi ia akan berusaha menahannya selama mungkin.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang