Seorang wanita berambut sepunggung melenggang masuk ke restoran, tampak berhenti sejenak mengedarkan pandangan. Irene yang lebih dulu datang dan telah memesan tempat segera bangkit, melambai ke arah wanita itu. Dengan senyuman kaku.
Irene telah menyiapkan hati. Siap tak siap, pahit atau manis, ia harus mendengar klarifikasi langsung terkait pertemuan Jisoo dan Suho yang diungkap Ibunya.
"Mau pesan apa?" tanya Irene setelah Jisoo merapatkan duduk.
Jisoo menggeleng, "langsung saja, apa yang mau kau tanyakan padaku?"
Irene menelan pahit. Sinar mata Jisoo begitu dingin dan pekat, tetapi ia memaklumi. Dirinya memang pantas dibenci sebanyak mungkin oleh wanita itu. Dikeluarkannya beberapa lembar foto ke atas meja. Melihatnya, membuat Jisoo menyeringai.
"Sampai akhir pun kau masih melakukan hal kotor seperti ini," desis Jisoo.
Hening. Irene hanya merunduk, menatap genangan teh yang diam dalam cangkir. Dia terlalu malu bahkan hanya untuk memperdengarkan deru napasnya.
"Benar aku menemui Suho. Aku ingin memulai semua dari awal dengannya." Jisoo terdengar yakin. "Aku akan pindah ke Mokpo dan memintanya ikut bersamaku."
Bagai petir menyambar, Irene merasakan setengah jiwanya melayang.
"Selama ini dia sudah banyak menanggung derita sendirian. Biarkan dia memilih. Dia berhak bahagia," imbuh Jisoo.
Sungguh, Irene lebih baik ditampar sampai wajahnya membiru ketimbang harus mendengar kata demi kata yang dilontarkan Jisoo. Dia kemudian teringat pada berkas di meja Suho yang sempat ia tengok. Semuanya berlokasi di Mokpo, itu artinya....
Air mata pun gagal terbendung. Hatinya hancur menjadi kepingan tak berarti. Ingin rasanya ia menghilang, lenyap dari dunia yang selalu enggan memihaknya.
"Jangan egois, Irene! Aku tahu kau mencintai Suho, tapi biarkan dia menentukan kebahagiaannya sendiri," tukas Jisoo, seolah belum puas menyiksa Irene.
"Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan hidup tanpa Suho. Aku tidak peduli walaupun dia tidak mencintaiku, asal dia menjadi milikku itu tidak masalah. Tapi kau benar, bukti cinta terbesar adalah melihat orang yang kau cintai bahagia, meskipun dia akhirnya memilih hidup dengan orang lain."
Irene membiarkan udara memenuhi ruang parunya, mengosongkan pikirannya.
"Pertunangan kami sudah dibatalkan keluargaku, tapi Suho belum tahu. Beri aku waktu menyelesaikannya baik-baik dengan Suho," ungkapnya.
"Kuharap kau menyelesaikan semuanya sebelum awal pekan depan," tandas Jisoo.
Tak seperti dulu, kini tak satu pun titik ketakutan Irene temukan pada sosok di hadapannya. Irene pun sadar sekeras apapun ia berusaha, kekalahan tetap memihak padanya.
Semestinya, dari awal ia tak memaksakan perasannya ke Suho. Lelaki itu bukan takdirnya. Sosoknya bagai bayangan yang tak akan pernah teraih. Cinta untuk Irene akhirnya hanyalah angan yang berakhir kenangan. Pahit.
****
"Hyung, kau yakin dengan semua ini?" Chanyeol menyerahkan map cokelat pada Suho.
Suho mengangguk, "selama ini aku memang menabung untuknya."
Setelah layar macbook-nya redup, Suho bangkit mengambil jas di gantungan. Sejam lagi dia janji bertemu dengan Jisoo dan ia tak ingin datang terlambat.
"Ponselku akan kumatikan sementara waktu, jadi tolong handle kerjaanku dulu," pesannya sebelum meninggalkan ruangan.
"Siap, laksanakan!"
"Hyung..." Chanyeol kembali memanggil.
Suho menoleh sebentar.
"Semoga lancar, aku selalu mengharapkan yang terbaik untukmu."
Senyum Suho mengembang tipis, "thanks."
Hari ini akan menjadi titik balik hidupnya. Titik yang menjadi akhir sekaligus awal baginya.
****
Satu tahun telah berlalu sejak pernikahan kedua Ibunya, tapi rasa asing masih saja ada setiap kali Irene menjejakkan kaki di gedung Oh Company. Kecanggungan bahkan kental terasa saat berhadapan dengan orang nomor satu di sana.
"Apa yang membawamu kemari?" Laki-laki di hadapannya memberi senyum tipis.
Bukannya menyahut, Irene malah merogoh tas biru dongker dipangkuannya, kemudian menyerahkan sebuah amplop berlogo salah satu rumah sakit.
"Apa ini?" tanya Tuan Oh, mengambil dan mulai membuka amplop.
"Sebenarnya, aku sudah janji ke Sehun tidak akan bilang ke siapa-siapa, tapi kupikir Anda berhak tahu."
Dari berkerut, pandangan Tuan Oh berakhir membelalak ketika membaca tulisan yang tertera pada kertas. Urat-urat di sekitar pelipisnya perlahan timbul. Rahangnya mengeras.
"Sehun sakit dan dia sangat membutuhkan perhatian Anda," imbuh Irene.
"Ma...maksudmu anakku... mengalami gangguan psikis...?"
Irene mengangguk tegas. Terlihat jelas Tuan Oh belum dapat menerima kenyataan. Diremasnya kertas itu kuat-kuat. Sinar matanya sarat akan sesal mendalam. Sungguh, ini pemandangan baru bagi Irene.
"Sejak Anda menikahi Eomma-ku, aku tak pernah menuntut apapun. Kali ini bisakah aku minta sesuatu dari Anda?" Irene kembali buka suara.
"Apa itu?" Tuan Oh bertanya lirih.
"Biarkan aku menggantikan Sehun pindah ke Cina. Sebagai gantinya Sehun boleh mengambil posisiku di ERALUV."
"Kenapa tiba-tiba mau pindah ke Cina?"
"Melarikan diri?"
Kerutan di kening Tuan Oh ramai berdatangan.
"Lagi pula, Anda tidak mungkin membiarkan Sehun pergi, kecuali Anda tak masalah jika kondisinya semakin buruk," tukas Irene.
Tuan Oh menarik napas teratur, merilekskan tubuh ke sandaran kursi. "Kau sudah bicara dengan Eomma-mu?"
Irene meringis, "tidak ada yang perlu dibicarakan dengannya. Toh, dia membatalkan pertunanganku tanpa membicarakannya dulu denganku."
"Irene, Eomma melakukan itu demi kebaikanmu. Dia tidak ingin kau disakiti siapapun."
"Keinginanku pindah ke Cina juga demi kebaikanku," sergah Irene.
Hening bertahta sesaat. Tuan Oh menatap Irene lekat dengan setumpuk pikiran di kepalanya. Tentu bukan hal mudah menghadapi anak berpendirian keras seperti Irene.
"Baiklah, aku tidak keberatan kalau memang kau ingin menggantikan Sehun ke Cina, tapi dengan syarat Eomma juga setuju," ujarnya.
"Kupikir Eomma akan senang dengan keputusanku, jadi dia tak perlu lagi capek-capek mencari cara agar aku menyerah dan menjauhi Suho," pungkas Irene dengan senyum kemenangan, namun di sisi lain menyiratkan seganggam sendu.
Bersambung_
Silahkan follow bagi yang belum, jangan lupa vote dan komenj.
Thank you❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
Hayran KurguMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? - Irene Irene bukan wanita jahat. Dia hanya seorang wanita yang mencintai tunangannya, Suho, dengan segenap hati. Perjodohan ini mungkin hanyalah kesepakatan antara d...