Aroma kaldu yang kuat serta gemercik minyak di panci penggorengan menghidupkan suasana dapur pagi itu. Irene yang sibuk memotong wortel dan kentang dikejutkan dengan sepasang tangan yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya.
"Kenapa tidak membangunkanku?" gumam pemuda di belakangnya. Deru napasnya mengenai tengkuk Irene.
Jauh hari, Suho memang telah membeberkan segala password yang dimiliki pada Irene. Mulai dari ponsel, penthouse, bahkan sampai semua jenis kartu pembayaran di dompetnya, sembari mengatakan semua yang ia miliki turut menjadi hak Irene.
"Aku berencana membangunkanmu selepas ini," kata Irene, memasukkan hasil potongannya dalam rebusan kaldu.
"Kekasihku memang calon istri idaman."
Saat itu juga, sebuah kecupan mendarat di pipi Irene. Semestinya, ia mulai merasakan debaran yang memburu di balik dada, wajah yang memanas dan perlahan memerah. Namun, tubuhnya tak bereaksi demikian. Hanya senyum kecil yang berhasil ia ukir.
"Mandi dulu sana. Sarapannnya sebentar lagi siap," pintanya kemudian.
"Hari ini boleh, ya, aku tidak bekerja. Aku ingin berduaan denganmu seharian," Suho bergelayut manja di balik punggung mungil Irene.
"Aku harus ke kantor, Suho."
Pemuda itu mengerucutkan bibir. Langkahnya yang lunglai mulai menuntun ke kamar mandi. Irene yang menyaksikan kembali tersenyum tipis. Tingkah Suho menggemaskan, tetapi entahlah. Semua keromantisan ini terasa cukup berbeda dari biasanya, seperti ada sesuatu yang tak mengizinkannya merasakan kebahagian dengan leluasa.
****
Red Planet Hotel memiliki beberapa unit penthouse yang terletak di lantai teratas gedung, di mana salah satunya digunakan khusus untuk Suho. Di ruangan yang besar itulah, segala perlengkapan dan kemewahan terbaik ditawarkan hotel.
Ketimbang menikmati pemandangan luar yang indah; suasana kota Seoul di pagi hari, Irene lebih memilih menjelajahi setiap sudut ruang pribadi Suho. Pengamatannya tersedot pada meja kerja berbahan jati jepara. Bukan pangling akan estetika benda itu, melainkan karena beberapa berkas yang dibiarkan berserakan di atasnya.
Irene semakin ditenggelamkan rasa penasaran tatkala melihat sebuah brosur apartemen yang mencuat dari map berwarna hijau. Dia pun membuka dan mendapati beberapa brosur apartemen, tiket penerbangan yang dijadwalkan dua pekan ke depan, dan foto sebuah bangunan toko yang kosong. Semuanya berlokasi di Mokpo.
Untuk apa semua ini?
Kalau pun Suho ada proyek di sana, ia pikir tak perlu sampai membeli apartemen. Lalu, bangunan toko yang kosong itu?
Tidak masuk akal jika Suho ingin membuka usaha kecil di sana, sementara ia mengelola sebuah hotel bintang lima di sini.
Irene masih berpikir kencang ketika terdengar gagang pintu kamar mandi ditarik. Buru-buru ia menutup map dan menjauhi meja.
"Ma...maaf, sudah masuk tanpa izin. Aku... hanya ingin melihat-lihat kamarmu," Irene merunduk, tak sanggup menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Dada bidang yang masih setengah basah, juga otot-otot perut yang tercetak sempurna terekspos begitu saja. Memang bukan pertama kali Irene melihatnya, tetapi tetap saja membuat darahnya berdesir hebat. Wajahnya pun mulai terasa panas, dan sebelum pucuk kepalanya mengeluarkan asap, ia bergegas keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
أدب الهواةMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? Bahwa suatu hari nanti kau bisa mencintaiku, meski tak sebanyak aku mencintaimu. - Irene Percayalah, Irene bukan seorang wanita jahat. Dia hanya melakukan apapun yang...