Senyuman-senyuman kecil menghias wajah Irene. Kelopak matanya yang berteduh bulu lentik fokus menatap layar ponsel. Sebentar lagi jam istirahat. Dan Suho telah mereservasi sebuah restoran ternama di pusat kota untuk makan siang dengannya.
Hari demi hari berganti, namun Irene tidak benar-benar mengusir duka ditinggal sang Ayah. Luka kehilangan laki-laki yang paling berarti dalam hidupnya belum mengering. Mungkin juga tidak akan pernah kering. Walaupun begitu, semua terlewati dengan tenang tanpa sedikit pun desas-desus mengenai kematian Ayahnya. Layaknya fakta bahwa beliau telah meninggal dua tahun silam. Sesuai keinginan Ibunya. Kini, berduka pun hanya sebuah seremoni belaka.
Mengenaskan.
Pintu ruangan Irene terbuka tanpa ada suara ketukan lebih dulu. Dia memang belum mencari pengganti Jisoo sebagai resepsionis yang selalu siaga di depan. Karyawan yang bertugas sebelum Jisoo pun belum lepas dari masa cuti.
Wanita bertubuh ramping dengan setelan blazer nude dan rok putih selutut menjejak masuk ke dalam ruangan. Mengubah udara di sekitar menjadi semerbak wangi bunga oriental yang menambah kesan mewah si wanita. Namun, sama sekali tak terpikat, Irene menyambut kedatangannya dengan wajah kurang bersahabat.
"Apa maksudnya ini?" wanita itu menghempas amplop ke atas meja.
Irene mengernyit.
Apa lagi ini? Dia pikir urusan mereka telah berakhir selepas kematian Ayahnya.
Bola mata Irene melebar tatkala melihat foto-foto di balik amplop yang memperlihatkan beberapa momen kebersamaan Suho dan Jisoo yang tertangkap bidikan Bogum belakangan ini. Gambar-gambar itu tak seharusnya terlihat oleh sang Ibu, tetapi mengapa bisa sampai di tangannya?
"Jadi selama ini Suho bermain di belakangmu? Bahkan dengan karyawanmu sendiri?!" wanita di hadapannya memekik.
"Ini tidak seperti yang Eomma pikirkan. Mereka hanya teman," sahut Irene.
"Tidak perlu membelanya. Eomma sudah dengar semuanya dari Bogum. Irene, sadarlah. Suho tidak mencintaimu. Eomma bisa carikan laki-laki yang jauh lebih baik darinya."
Sungguh, Irene benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Ibunya.
"Bukannya dulu Eomma sendiri yang menyetujui permintaan Nenek Suho untuk menjodohkan kami?" tandas Irene. "Ohh... jadi benar dugaanku selama ini. Eomma menerima perjodohan kami hanya karena menginginkan bantuan dana dari keluarga Suho. Iya kan?"
"Kau salah, Irene. Eomma setuju karena tahu kau tertarik pada Suho. Tapi, orang tua mana yang tahan melihat anaknya tidak dihargai begini, hah?"
Irene menyeringai, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan apik.
"Tidak perluk sok perhatian padaku. Eomma bahkan lebih banyak membuatku menderita ketimbang Suho," ungkapnya.
Bibir Ibunya mengatup. Sesaat suasana berubah hening dan memanas.
"Eomma pikir kau akan berubah setelah kita sama-sama melewati hari yang berat melepas kepergian Appa-mu. Ternyata kau masih saja menganggap semua yang kulakukan hanya untuk diriku sendiri," Ibunya mendesah frustasi.
"Eomma... sangat kecewa telah membesarkan anak seegois kamu, Irene."
Tanpa menunggu balasan, Ibunya berbalik memunggungi Irene, meninggalkan ruangan. Pintu pun kembali tertutup dan waktu sedikit demi sedikit melahap suara ketukan heels Ibunya sampai tak terdengar lagi.
Irene gigit bibir bawahnya kuat-kuat. Membendung air mata di balik kelopaknya. Dia memang egois. Berhati keras bahkan pada Ibunya sendiri yang sebenarnya sama terluka sepertinya. Dia hanya tidak ingin hubungannya dengan Suho turut dicampuri Ibunya. Terlepas dari Suho yang entah hanya kasihan padanya setelah insiden bunuh diri ataupun tidak, ia ingin mencoba sekali lagi bertahan di sisi pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanfictionMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? Bahwa suatu hari nanti kau bisa mencintaiku, meski tak sebanyak aku mencintaimu. - Irene Percayalah, Irene bukan seorang wanita jahat. Dia hanya melakukan apapun yang...