Irene memandang kosong dari balik kaca taksi yang ditumpanginya. Wajahnya sayu, sarat akan kepedihan dan kehancuran hati yang melandanya. Menyaksikan Suho dan mantan kekasihnya saling mendekap berbagi kehangatan seakan menampar Irene. Menyadarkannya bahwa ia hanyalah sosok antagonis dalam kisah hidup mereka, yang pada akhirnya akan pergi sejauh mungkin dan membiarkan mereka hidup bahagia selamanya.
Ingin rasanya Irene menyerah. Terlalu lelah menampung sakit yang menyerangnya bertubi-tubi tiada henti. Namun, apakah ia sanggup merelakan Suho untuk wanita lain? Sosok cinta pertamanya yang selama ini ia pertahankan dan perjuangkan. Rasanya ia tidak bisa jatuh cinta pada orang lain selain Suho.
Ponsel Irene berdering di pangkuannya. Irene meliriknya dengan lemas. Saat itu juga hatinya kembali teriris dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kamu di mana?"
Terdengar suara Suho di balik telpon ketika Irene menjawab panggilannya.
"Aku di jalan. Maaf, tadi aku buru-buru pergi. Aku lupa ada janjian dengan klien penting malam ini," dusta Irene.
"Kenapa tidak bilang, kan bisa kuantar."
Senyum pahit merekah di wajah Irene. Menurutnya, Suho tidak perlu bersikap sok peduli. Akan lebih mudah baginya melepas pemuda itu jika ia bersikap apatis. Seperti sebelumnya.
"Aku tidak ingin merepotkanmu. Apalagi Jisoo sedang berkabung."
Hening menyelinap. Meskipun begitu, sambungan telpon belum terputus.
"Maaf" Suho berucap. "Tadi pikiranku benar-benar kacau. Aku sangat syok. Maafkan aku kalau ada sikap dan ucapanku yang menyakitimu."
Tentu saja. Perlakuan Suho hari ini benar-benar menyakitkan. Tetapi, Irene hanya bisa menggigit bibirnya kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan. Menutup segalanya rapat-rapat.
"Aku bisa mengerti," lirihnya. "Kalau begitu kututup dulu telponnya."
"Baiklah, tolong kabari aku kalau sudah di rumah."
Irene hanya bergumam lalu mengusap ikon merah. Bersamaan dengan itu, air matanya menetes, tetapi dengan cepat ia menyapunya.
Taksi yang ia tumpangi akhirnya berhenti di sebuah bangunan rumah sakit. Tidak ada tempat yang bisa dituju Irene selain di sana. Menemui Ayahnya yang masih tertidur dalam komanya.
Irene tidak pernah menyangka salah satu ruangan mewah di lantai teratas gedung itu akan menjadi tempat ternyaman kala dirinya gundah gulana. Dengan lesu, ia memasukkan sandi ruangan dan pintu kaca pun membelah. Langkahnya menyusuri lorong yang membawanya sampai pada Ayahnya.
Di sana ia menemukan sosok pria berjas putih tengah memegang papan kecil berisi lembaran-lembaran kertas hasil pemeriksaan pasien. Dokter itu segera berbalik menyambut kedatangan Irene.
"Bagaimana keadaannya?"
Pertanyaan yang tidak pernah bosan Irene lontarkan setiap kali menginjakkan kaki di sana.
"Masih sama seperti sebelumnya."
Dan jawaban yang sangat memuakkan yang selalu didengar Irene.

KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanficMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? - Irene Irene bukan wanita jahat. Dia hanya seorang wanita yang mencintai tunangannya, Suho, dengan segenap hati. Perjodohan ini mungkin hanyalah kesepakatan antara d...