DUA PULUH SEMBILAN

2.7K 278 44
                                    

Irene menekan-nekan call button di dekat pintu masuk lift, namun pintu itu tak kunjung terbuka. Keadaan sudah genting, dan ia tidak bisa membiarkan waktu berlalu begitu saja. Dia pun memutuskan melalui tangga darurat.

Bagaimana dia tidak kebakaran jenggot, Ibunya baru saja menelpon, memberi tahu jika ia sedang di perjalanan untuk bertemu dengan Nenek Suho.

"Eomma sudah terlalu muak. Neneknya harus tahu sikap busuk Suho selama ini," ucapan Ibu masih terngiang jelas di kepala Irene.

Sungguh, Irene tidak mengerti jalan pikiran Ibunya. Seandainya ada cara untuk memutuskan pertalian darah dengan Ibunya, maka akan ia lakukan tanpa ragu sedikit pun. Kebenciannya pada wanita itu benar-benar sudah di ambang batas. Tidak peduli pada kenyataan Ibunya-lah yang telah melahirkan ia ke dunia ini.

Sampai di restoran tempat Ibu dan Nenek Suho bertemu, perasaan Irene semakin kacau tatkala melihat mobil sedan Ibunya terparkir di sana. Dia pun memacu langkahnya.

"Eomma!" pekiknya, menghampiri meja di mana Ibu dan Nenek duduk berhadapan.

Berbeda dengan Ibunya yang hanya menoleh singkat dengen ekspresi dingin, Nenek malah menyambutnya dengan senyum sumringah.

"Irene juga datang rupanya, sini duduk," ajak wanita itu.

Tampaknya, Irene datang di waktu yang tepat. Pembicaraan mereka sepertinya belum dimulai.

"Baguslah kalau kau datang ke sini," gumam Ibunya.

"Apa yang mau eomma lakukan?" bisik Irene.

Namun, Ibunya sama sekali tidak mengindahkan. Ibunya kemudian mengeluarkan beberapa lembar foto dari tas Lana Marks-nya. Memajangnya di atas meja tanpa satu pun terlewatkan.

Wanita paruh baya di hadapan mereka sontak membelalakkan mata. Begitu pula Irene yang menelan pahit melihat beberapa gambar Suho bersama Jisoo yang cukup intens di sebuah restoran.

"Selama ini saya diam karena menghormati Anda, tapi Suho benar-benar sudah keterlaluan. Irene sangat mencintainya, tapi balasan seperti ini yang dia dapatkan," tandas Ibunya.

"Sa...saya... sungguh... tidak tahu mengenai ini..." Nenek syok sekali, irisnya di balik kacamata tampak memerah.

"Maaf kalau saya sampai menyuruh orang membuntuti Suho. Ini kulakukan supaya bisa memberi bukti pada Anda kalau selama ini Suho hanya mempermainkan Irene. Dia sama sekali tidak menghargai putriku."

"Eomma, cukup! Biar kubicarakan ini dengan Suho. Dia pasti bisa menjelaskannya," sambil menahan isak yang mendesak, Irene akhirnya angkat suara.

"Berhenti bersikap bodoh! Eomma tahu kau mencintainya, tapi kau tetap harus punya harga diri, Irene."

Ucapan Ibu tak ubahnya tamparan keras di wajah Irene. Harga diri apa lagi yang harus dipertahankan ketika ia sudah menyerahkan segalanya pada Suho.

"Irene eomma, tenanglah dulu. Saya akan coba bicara dengan Suho, kalau perlu kupanggil dia kemari," ujar Nenek.

"Tidak perlu, semuanya sudah cukup. Saya tidak ingin hubungan mereka dilanjutkan."

"Eomma..."

"Diam! Ini demi kebaikanmu, Irene."

Ait mata pun menitik dari kelopak Irene, namun tak mempan mengetuk hati Ibunya yang sedemikian keras.

"Mulai saat ini pertunangan mereka dibatalkan, dan sampai kapan pun saya tidak akan merestui hubungan mereka lagi," tegas Ibunya.

Dia beranjak dari kursinya, membungkuk, kemudian dengan mantap meninggalkan tempatnya.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang