TIGA PULUH TUJUH

1.5K 187 51
                                        

Tidur Suho berhasil diusik sinar mentari yang masuk melalui celah jendela hotel. Seketika nyeri menjalari sekujur tubuhnya. Hanya untuk meraih ponsel di nakas samping ranjang saja, rasanya seperti tulang-tulangnya remuk dilindas puluhan ekor kuda.

Meski sekarat, Suho tetap menjalankan aksi paginya yang belakangan telah menjadi rutinitas baru. Pandangannya fokus di layar. Jemarinya memilih satu kontak untuk dihubungi. Dia mengumpulkan segenap harapan sebelum mengarahkan ponsel ke telinga. Jantungnya mulai berdegup tak biasa, tapi kecewa menyambar secepat kilat, meluluhlantakkan harapannya.

"Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar. Mohon periksa kembali nomor tujuan Anda. Terima kasih."

Mana mungkin nomornya salah, sementara nomor itulah yang dulu senantiasa meramaikan notifikasi di ponsel Suho. Hatinya kembali remuk. Dia benar-benar kehilangan jejak Irene. Seharusnya, semalam ia mati saja saat dikeroyok di diskotik.

Di tengah penyesalan, Suho berhasil mengendus aroma kaldu. Dia baru sadar kalau pintu kamarnya dalam keadaan setengah terbuka. Kalau dipikir-pikir, dia tidak mungkin berakhir di atas ranjangnya dalam keadaan selamat tanpa bantuan seseorang. Dia tidak ingin berharap, tapi harapan itu menghampirinya. Membayangkan sosok Irene sibuk di dapur menyiapkan sarapan berhasil memberinya tenaga untuk bangkit.

Namun, lagi-lagi kekecewaan menamparnya begitu kejam. Bukan wanita bertubuh mungil dengan rambut dikucir ke belakang yang ia temukan, melainkan lelaki jangkung dengan kemeja yang lengannya digulung hingga ke sikut.

"Aku tidak pandai memasak, jadi kubeli di luar dan kupanaskan kembali." Pemuda itu menoleh, menyadari kehadiran Suho.

"Seandainya kau wanita sudah kunikahi sejak dulu," celetuk Suho, berjalan tertatih-tatih ke meja makan.

"Untungnya aku lelaki," sahut sekertarisnya sarkastis.

Suho tidak berkomentar. Hatinya masih remuk dan ada luka yang meringis di sudut bibirnya. Syukurnya, Chanyeol menghidangkannya bubur abalone, jadi dia tak perlu menahan sakit karena harus mengunyah.

"Sampai kapan kau mau seperti ini, Hyung? Kau tidak tahu betapa paniknya aku malam-malam mendapat telpon kau dikeroyok di diskotik. Lihat wajahmu! Benar-benar membuat hatiku sakit," cerocos Chanyeol, persis seorang Ibu yang sedang memarahi anaknya.

"Hatiku lebih sakit," sahut Suho tanpa ekspresi, berusaha menikmati makanan kesukaannya di tengah rasa sakit yang berpesta.

"Haruskah kau jadi seperti ini karena perempuan? Irene memang meninggalkanmu, tapi Jisoo memintamu memberinya kesempatan. Lupakan saja Irene dan jalani hidupmu yang baru bersama Jisoo. Bukankah itu yang kau inginkan sejak dulu?"

Rahang Suho bergeming. Mulutnya tiba-tiba pahit. Dia meneguk air dan tidak akan melanjutkan sarapannya.

"Chanyeol, maaf mengatakan ini." Ditariknya napas dalam tenang. "Aku akan mengundurkan diri dari perusahaan, tapi kau tidak perlu khawatir. Mulai minggu depan kau akan bergabung dengan tim pemasaran dan jadi pimpinan mereka."

"Hyung!" Chanyeol memekik.

"Keputusanku sudah bulat. Maafkan aku."

Sebelum mentalnya ciut melawan tatapan sekertarisnya, Suho beranjak dari kursi dan kembali ke kamar. Hidupnya sudah hilang arah, dan ia tak sanggup mencari jalan keluar lagi.

****

Satu garis merah tampak. Irene menahan napas, jantungnya berpacu kencang. Lalu satu garis lagi muncul perlahan-lahan hingga terlihat semakin jelas. Kaki Irene seketika lemas, ia terkulai di lantai kamar mandi. Tangannya gemetaran memegangi alat tes kehamilan yang dibelinya diam-diam kemarin.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang