Hampir sepuluh menit berlalu, tetapi batang hidung Irene tak kunjung tampak. Padahal, jenazah Ayahnya sebentar lagi akan digiring ke tempat kremasi. Sehun pun segera menyusul Irene ke toilet, cemas anak itu pingsan atau entahlah apa.
Kecemasan Sehun berhasil sampai ke puncak ketika ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Irene di toilet. Buru-buru ia mengeluarkan ponsel, menghubungi Irene, tetapi tidak ada jawaban. Dia melakukannya berkali-kali dan hasilnya tetap nihil.
Sehun segera membuka aplikasi pelacak di ponselnya. Sebelumnya, ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Irene, seperti wanita itu ingin pergi jauh darinya. Dia pun diam-diam memasang aplikasi pelacak di ponsel saudara tirinya itu.
Tidak butuh waktu lama untuk melacak keberadaan Irene. Sehun langsung melesat ke rooftop gedung dengan rasa cemas yang mulai mereda. Pasalnya, ia tahu wanita itu kerap datang ke sana. Mungkin saja Irene sedang menumpahkan tangisnya di sana dan Sehun bersedia untuk menjadi sang pelipur lara untuknya.
Setelah memijakkan kaki pada anak tangga terakhir sampailah Sehun di bagian teratas gedung. Seharusnya, ia lega menemukan sosok yang dicarinya di sana, tetapi langkahnya malah tercekat. Dari ambang pintu besi, ia melihat punggung Irene yang berdiri tegap di atas dinding pembatas gedung.
Tubuh Sehun sekejap membeku. Bagaikan sebuah tombak tiba-tiba datang menghujam dadanya, terasa sangat nyeri hingga membuatnya sulit menggapai udara. Dia terkulai lemas di lantai, seakan tenaganya dicabut keluar dari ubun-ubunnya.
Ingatan dari masa lalu yang selama ini menyiksa kembali terbayang di benak Sehun, seperti kaset video yang diputar tanpa ada adegan yang terlewatkan sedetik pun. Detik-detik ketika ia menyaksikan kakak kandungnya gantung diri di depan matanya, di mana ia yang masih duduk di bangku sekolah dasar tidak tahu harus berbuat apa. Hanya menangis dan menjerit sekeras-kerasnya di sudut kamar, menyaksikan tubuh kakaknya yang menggeliat menghadapi maut di ambang pintu kamar mandi. Hingga perlahan tubuhnya kaku dengan tatapan yang menembus manik Sehun.
Sekalipun, Sehun tidak pernah melupakan tatapan menyakitkan dan mengerikan itu. Seperti saat ini, ingatan itu datang menyambar dan menyiksanya tanpa ampun.
Keringat mulai bercucuran membasahi kening Sehun. Rongga pernapasannya berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Dengan tubuh yang bergetar hebat, ia berusaha meraih ponsel dari saku celananya. Menghubungi ibu sambungnya, tetapi tidak ada jawaban. Dia juga menghubungi Ayahnya dan hasilnya pun sama.
Sesak di dadanya semakin menggila. Pikirannya pun semakin kacau.
Suho.
Hanya dia satu-satunya yang saat ini bisa menolong. Sehun segera menghubungi pria itu. Beruntung, tidak butuh waktu lama hingga panggilan Sehun dijawab oleh Suho.
"Kau... di...mana? Tolong... ke rumah sakit... sekarang..."
Sehun, ada apa?
"Irene... di atas gedung... Dia... mau... melompat... Kumohon..."
Sehun benar-benar frustasi dengan dirinya sendiri. Bicara saja ia tidak bisa. Dirinya benar-benar pengecut. Pantas semua yang ia sayangi meninggalkannya. Dia tidak bisa melindungi mereka. Dia sama sekali tidak berguna.
Tanpa sadar air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya.
****
Suho sontak kebakaran jenggot setelah mendapat telpon dari Sehun. Dia yang memang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit segera melejitkan mobil. Sebelumnya, Sehun memang telah memberi tahu bahwa hari ini semua peralatan penunjang hidup Ayah Irene akan dilepas. Suho pun berniat datang diam-diam untuk melihat keadaan Irene. Namun, dia sungguh tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanfictionMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? - Irene Irene bukan wanita jahat. Dia hanya seorang wanita yang mencintai tunangannya, Suho, dengan segenap hati. Perjodohan ini mungkin hanyalah kesepakatan antara d...