TIGA PULUH EMPAT

1.2K 197 43
                                    

Suling kapal berbunyi sekali, menandakan kapal akan segera sandar di dermaga. Membawa angin segar bagi Suho yang masih berusaha damai dengan rasa pening dan mual. Padahal, ini kali pertama mereka kencan dalam bentuk piknik dan Suho gagal meninggalkan kesan pria yang keren. Dia bahkan berbau aromaterapi. Satu lagi peristiwa memalukan tercatat dalam sejarah hidupnya.

Sampai di daratan mereka melabuhkan langkah di salah satu kafe tak jauh dari gerbang masuk Pulau Nami. Mereka memilih duduk di bagian luar kafe karena Suho membutuhkan udara yang lebih segar dan alami.

"Bagaimana perasaanmu? Apa sebaiknya kita pulang saja biar kamu bisa istirahat?" Irene buka suara.

Suho segera menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Mualnya juga sudah mulai hilang," sahutnya, menyesap kopi hangat.

Pandangannya mulai mengitari sekitar. Mentari telah meninggi di atas sana. Sinarnya menembus celah-celah dedaunan dari pohon-pohon yang berbaris rapi, membawa suasana hangat musim semi. Jalan setapak di antara pepohonan ramai di padati orang-orang yang berfoto ria atau sekadar berjalan-jalan menikmati kesan romantis yang disuguhkan pulau itu.

Tidak mau ketinggalan, Suho segera melahap ramyeon-nya panas-panas. Rasa kenyang seolah mengusir mual di perutnya. Keadaannya berangsung-angsur membaik, meski wanita di hadapannya masih kelihatan murung, mungkin karena merasa bersalah.

"Sudah siap kencan denganku?" tanyanya semangat setelah meneguk habis kuah ramyeon di mangkuknya.

"Tapi, kau baik-baik saja?" Irene meragukan.

Suho menyeka bibirnya dengan tisu dan bangkit. "Tentu saja. Kita mulau dari mana, ya? Ah, bagaimana kalau kita naik itu?"

Suho mengarahkan telunjuk pada sebuah kereta yang kerap dijumpai di wahana permainan. Orang-orang tampak memadati kereta biru menggemaskan itu. Sambil menggenggam tangan Irene, Suho melangkah antusias. Berhasil mendapatkan dua lembar tiket, mereka bergegas naik ke kereta yang akan berangkat dalam lima menit lagi.

Selagi menunggu keberangkatan, perhatian Suho tersedot pada gadis kecil yang duduk di kursi depan. Usianya sekitar tiga tahunan. Di pangkuan Ibunya, gadis itu terus memandangi mereka. Rasa gemas menghampiri Suho. Dia bahkan mulai mengajak anak itu berinteraksi dengan bermain cilukba.

Hanya dalam beberapa detik, Suho berhasil memikat hati anak kecil yang rambutnya di kucir dua. Anak itu bahkan memberi permen berbentuk stroberi padanya.

"Siapa namamu?" tanya Suho sembari mencubit pelan pipi tembam anak itu.

"Nahyun." Nada suaranya terdengar sangat imut.

"Nama yang cantik, seperti dirimu," puji Suho.

Tak disangka-sangka, anak itu membuka kedua lengannya lebar-lebar ke arah Suho, minta digendong.

"Jangan mengganggu, Sayang," ujar Ibunya terlihat tak enak hati.

Namun, Suho segera menyunggingkan senyum dan menyambut uluran anak itu. "Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin memangkunya."

"Maaf jadi merepotkan."

"Sama sekali tidak."

Anak itu pun duduk nyaman di pangkuan Suho. Peluit berbunyi dan kereta mulai bergerak pelan. Sesekali Irene ikut mencubit pipi anak itu, bahkan sempat mengajaknya berfoto. Nahyun juga memberikan permennya pada Irene yang langsung disambut dengan suka cita.

Mereka melintasi hamparan rumput hijau yang diramaikan beberapa ekor burung unta, kawanan angsa, juga pepohonan tinggi yang menjadi tempat para tupai memanjat. Sorak kegirangan gadis kecil itu beberapa kali terdengar. Suho dan Irene pun ikut bersorak bersamanya.

"Kalian pengantin baru, ya?" Ibu gadis itu menoleh menatap mereka bergantian.

Suho malah cengengesan, sementara Irene tak berkomentar. Belum sempat mereka menjawab, Ibu itu kembali berujar.

"Anak-anak kalian nanti sangat beruntung bisa memiliki orang tua sebaik kalian."

"Terima kasih," sahut Suho.

Dia melempar pandangannya pada Irene, tapi wanita itu hanya tersenyum seadanya. Mungkin hanya perasaan Suho saja, raut wajah Irene terasa meredup. Kereta pun berhenti di Station Center Pulau Nami, yang artinya mereka harus berpisah dengan si kecil Nahyun. Suho memang memilih rute setengah perjalanan saja karena berencana melanjutkan perjalanan berkeliling pulau naik sepeda.

Dengan berat hati, Suho mengembalikan Nahyun ke pangkuan Ibunya. Mereka saling melambai hingga kereta itu beranjak pergi.

"Nahyun benar-benar menggemaskan. Di masa depan aku juga ingin punya anak perempuan," ujarnya.

Lagi-lagi Suho hanya menangkap seulas senyum di wajah Irene.

"Suho, bagaimana kalau kita naik yang itu?" Irene menunjuk ke arah sejoli yang mengayuh sebuah sepeda tandem.

"Oh, baiklah." Suho jadi kikuk.

Apa Irene masih merasa bersalah perihal mabuk laut yang menyerangnya tadi? Rasanya tidak. Suho pun berusaha menjernihkan pikiran. Bukan waktunya berpikir yang tidak-tidak. Dia hanya perlu fokus mengukir momen indah nan berharga bersama Irene di pulau romantis itu.

****

Tak terasa siang mulai menghampiri sore. Angin berhembus semakin dingin saat mereka beristirahat di tepian sungai. Irene pun mengajak Suho berpindah ke restoran Pizza di dekat sana. Pizza dan sepiring pasta menjadi menu yang sangat cocok sebagai penutup perjalanan mereka hari itu. Dan tanpa diketahui Suho juga menjadi tempat terakhir mereka bersama.

Irene berusaha menelan makanan meski rasanya hambar. Nafsu makannya hilang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Dia pun pamit ke toilet sebentar, tapi diam-diam malah mencari jalan keluar dari sana.

Dia persis tawanan yang melarikan diri. Langkahnya terbirit-birit ke pelabuhan. Dari kejauhan tampak kapal ferry yang akan ia tumpangi sandar dan siap mengangkut penumpang. Dia memang sudah membeli tiket pulang seorang diri tanpa sepengetahuan Suho.

Suling kapal berkumandang dua kali sebelum akhirnya bergerak pelan meninggalkan daratan. Air mata Irene pun menetes seketika. Dia telah meninggalkan cintanya di pulau itu dan tidak akan pernah bisa kembali lagi. Semuanya telah berakhir. Dengan membiarkan Suho berbahagia bukan dengannya. Entah berapa lama hati Irene bisa sembuh atau juga mungkin tak akan pernah sembuh. Tapi, ia berharap tidak akan menyesali keputusannya.

Ponselnya berdering, Suho menghubunginya. Keberanian Irene baru terkumpul saat panggilan Suho yang kedua kalinya.

"Kau baik-baik saja? Aku menunggumu di depan toilet." Nada khawatir di seberang sambungan menyerang Irene seketika.

"Suho..." Irene menelan saliva. Tenggorokannya sakit, dadanya sesak.

"Irene, jangan membuatku tambah khawatir."

"Pertunangan kita sudah dibatalkan. Aku akan pergi dan kau tidak perlu mencariku. Terima kasih untuk semuanya, juga maafkan aku."

Tak sanggup mendengar suara Suho lagi, Irene mematikan ponselnya. Dia berlari keluar ke dek kapal, menghirup udara banyak-banyak. Berharap sesak di dadanya bisa segera hilang. Tangisnya perlahan mencuat. Dia mulai merintih tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar.

Hidup memang kejam. Bagai ombak di laut, terkadang ia dihempas ke tepian, tapi kembali diseret ke lautan. Terus seperti itu hingga akhirnya ia menyadari jika tubuhnya tak lagi berdaya melawan beringasnya ombak yang mempermainkan hidupnya. Bagaimana pun ia berusaha, dirinya hanya akan berakhir tenggelam hingga ke dasar laut. Dalam kegelapan yang amat pekat.

Antara dirinya dan Suho, semuanya benar-benar sudah berakhir. Sekarang dia hanya perlu menghilang bak ditelan ombak.

Bersambung_




Catatan author:

Halooo... aku mau ucapin terima kasih banyak atas komen2 kalian di chapter sebelumnya. Semuanya udh aku baca, meskipun belum semuanya aku balas.
Komentar2 kalian benar2 bikin aku semangat nulis dan selesain cerita ini. Jadi, jangan bosan ikuti perjalanan cinta Suho dan Irene di Reach You yaa☺️

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang