SEMBILAN

2.3K 334 35
                                    

"Jisoo, berjanjilah padaku, apapun yang terjadi kau tidak akan meninggalkanku," ucap Suho, menggenggam tangan gadis di sampingnya sembari menatap lekat.

"Aku berjanji. Aku akan selalu berada di sisimu. Melalui semua ini denganmu."

Semilir angin malam menyapa lembut. Tidak banyak bintang di langit kala itu. Namun, memandang hamparan Sungai Han bersama gadis yang sangat dicintainya membuat Suho merasa paling bahagia di muka bumi. Walaupun hubungan mereka ditentang keras oleh keluarganya.

"Tahun ini aku akan menyelesaikan kuliahku, bekerja di perusahaan Appa, menabung uang hasil keringatku sendiri, lalu menikahimu. Kau akan menungguku kan?"

Jisoo mengangguk dengan menyunggingkan senyum.

"Aku akan terus berusaha membujuk keluargaku agar merestui kita," imbuh Suho.

"Tapi, bagaimana kalau gagal?"

Suho terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab. "Aku akan keluar dari rumah. Aku lebih memilih hidup bersamamu."

Pandangan Jisoo berubah sendu. Sepertinya, gadis itu tidak begitu senang dengan gagasan Suho barusan.

Suho menarik tubuh Jisoo ke dalam dekapannya. Menyesap aroma vanilla kekasihnya. Merasakan hangat sekaligus nyaman persis seperti ketika ia dipeluk mendiang Ibunya.

"Aku tidak mau hidup tanpamu. Aku sangat mencintaimu, Jisoo."

Suho bisa merasakan tangan Jisoo melingkar erat di pinggangnya.

"Aku juga sangat mencintaimu, Suho."

Suho menghembuskan napas kasar. Ingatannya berhasil memutar kenangan ketika ia dengan percaya dirinya berjanji pada Jisoo. Namun sayang, janji itu kini tinggal sebuah ucapan manis yang teringkari.

Suho meneguk sebotol soju yang perlahan mengikis kesadarannya. Di ruang yang tidak begitu luas dengan pencahayaan minim, dia menatap foto mendiang Ibunya.

Setelah meninggalkan kediaman Jisoo, Suho merasa tidak sanggup pulang ke rumah. Mengingat semua kekejaman keluarganya pada keluarga Jisoo membuat Suho muak jika harus bertemu mereka sekarang. Diapun memutuskan untuk datang ke makam Ibunya di sebuah krematorium. Di mana ada satu ruangan khusus yang disewa keluarganya sebagai tempat menyimpan abu mendiang Ibunya.

Suho duduk bersimpuh lutut di hadapan pusara Ibunya. Mengepalkan tangannya kuat hingga tubuhnya bergetar. Tetesan-tetesan air perlahan berjatuhan dari kelopak matanya.

"Eomma, ini semua sangat melelahkan," lirihnya.

Kembali ia meneguk soju sambil terisak. Menumpahkan semua beban yang selama ini ditanggungnya. Membiarkan rasa sakit, emosi, dan kesedihan meluap di ruangan itu.

****

Suho membuka matanya perlahan. Dia cukup terkejut tatkala melihat sosok wanita tertidur di sampingnya. Dia pun berusaha bangun. Kepalanya terasa sangat berat. Perutnya mual. Mungkin, ia sedang berhalusinasi akibat mabuk semalam.

Namun, setelah beberapa kali mengucek matanya, barulah Suho sadar bahwa sosok dilihatnya sekarang benar-benar nyata. Jadi, semalam ia tidur bersama Irene di depan pusara Ibunya.

"Irene." Suho menggoyangkan pelan lengan kecil Irene. Membuatnya menggeliat dan perlahan membuka mata.

"Suho, kau sudah bangun," kata Irene terdengar serak.

"Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Semalam Nenek menelpon, memberi tahu kau tidak pulang ke rumah. Aku menghubungimu tapi ponselmu tidak aktif," jelas Irene yang telah sadar penuh.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang