Setelah mengantongi resep dokter, Irene bergegas menuju apotek di bagian sudut gedung. Sangat bersyukur karena kandungannya baik-baik saja. Dokter hanya menganjurkannya mengonsumsi suplemen kehamilan untuk tumbuh kembang bayinya.
"Tunggu di sini saja, biar aku yang urus," kata Suho.
Namun, Irene tidak menghiraukan. Dia terus melangkah seolah tidak menganggap Suho ada. Tangannya meraba saku mantel dan dibuat tertegun. Dia berhenti, kembali memeriksa setiap saku lebih teliti. Dompetnya tidak ada. Jangankan dompet, ponsel pun tak ada. Lantaran panik, dia sampai melupakan benda-benda penting itu.
Irene tidak bisa berbuat apa-apa ketika Suho menyadari dan segera mengambil alih transaksi. Sesaat, Irene bergeming. Semuanya terjadi begitu cepat, tahu-tahu Suho sudah bersamanya bahkan mengetahui segalanya.
Di perjalanan pulang, keheningan berselimut tebal. Irene memilih menurunkan kaca dan membiarkan udara pagi yang masih cukup segar memenuhi mobil.
"Keluargamu sudah tahu?" Suho angkat suara untuk pertama kalinya sejak meninggalkan rumah sakit.
"Belum ada yang kuberi tahu," jawab Irene tanpa menoleh, membiarkan rambutnya mengibas tertiup angin.
"Maafkan aku."
Diamnya Irene memberi jeda cukup panjang. Dia kembali menaikkan kaca sampai menyisakan sedikit saja celah.
"Tidak ada yang perlu dimintai maaf. Kehadiran anak ini bukan suatu kesalahan. Aku juga tidak akan memintamu tanggung jawab. Aku bisa membesarkannya sendirian."
Mobil seketika menepi. Irene sontak memegangi perutnya. Dia menoleh dengan kesal. Apa Suho tidak sadar tindakannya barusan bisa saja membahayakan bayinya?
"Aku mencintaimu, Irene. Kehamilanmu jelas membuatku sangat bahagia. Aku juga ingin membesarkan anak ini bersamamu."
"Aku sudah banyak terluka karenamu, dan aku tidak mau anak ini ikut merasakan apa yang kurasa. Lebih baik dia tumbuh tanpa mengenal Ayahnya, daripada harus melihatmu dengan wanita lain."
"Apa maksudmu?" Kening Suho mengusut.
"Jisoo!" Suara Irene melengking tanpa sadar.
"Kau tidak bisa hidup tanpanya! Tidak peduli bagaimana kau mencintaiku, kau selalu punya cara untuk menemuinya!"
Tampak tulang rahang Suho mengeras. Tangannya mencengkeram setir.
"Aku hanya ingin dia hidup lebih baik. Bagaimana pun juga aku bertanggung jawab atas penderitaannya selama ini, Irene."
"Teruslah hidup dengan rasa bersalahmu padanya. Silakan, aku tidak berhak melarang. Tapi tolong, biarkan aku hidup tenang dengan anak ini."
Suho mengusap wajah frustasi.
"Aku tumbuh dengan kedua orang tua, kau pun begitu. Apa kau tega membiarkan anak ini tumbuh tanpa sosok Ayah? Apa yang mau kau katakan padanya nanti?"
Ucapan Suho bak tamparan bagi Irene. Ingatannya kembali menayangkan janin sebesar buah anggur yang dilihatnya di monitor tadi. Anak itu bahkan belum lahir, tapi Irene sudah menjadi ibu yang egois.
Air mata perlahan menggenang di pelupuk. Penglihatan Irene jadi buram. Dadanya mulai sesak. Tidak sanggup menahan, dia pun menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan mulai terisak.
Dia merasakan tubuhnya direngkuh, menghantarkan rasa nyaman dan hangat yang ia rindukan.
"Maafkan aku. Ini semua salahku. Tapi kumohon, beri aku kesempatan sekali lagi untuk menjadi pasangan dan Ayah yang baik untuk kalian," kata Suho dengan nada melembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanficMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? Bahwa suatu hari nanti kau bisa mencintaiku, meski tak sebanyak aku mencintaimu. - Irene Percayalah, Irene bukan seorang wanita jahat. Dia hanya melakukan apapun yang...