TIGA PULUH DELAPAN

1.1K 180 56
                                    

"Ibu Liu Yifei," panggil seorang perawat.

Wanita yang duduk berseberangan dengan Irene berusaha bangkit sambil memegangi perutnya yang besar. Sang suami tampak siaga menuntunnya masuk ke ruang pemeriksaan. Pandangan Irene terus melekat dan rasa iri pelan-pelan meresap ke dadanya.

Nyalinya menciut. Kepercayaan dirinya hilang menyaksikan banyak pasangan harmonis di sekelilingnya, sementara ia datang seorang diri ke sana. Malu tak lagi sanggup terbendung hingga berhasil menyeretnya keluar. Tanpa pikir panjang ia cegat taksi yang lewat. Semuanya terlalu berat ditanggung sendirian.

Di tengah perjalanan ponselnya berdering. Irene menguatkan hati sebelum menjawab.

"Kau di mana?" serang lelaki di seberang telepon.

"Perjalanan pulang dari kantor," bohong Irene.

"Kau sedang menyetir?"

"Tidak, aku naik taksi."

Hening sebentar.

"Ayah menahan pasporku. Ini ulahmu, 'kan?"

Tepat sekali. Irene memang telah menghubungi Ayah sambungnya agar mengamankan paspor milik Sehun. Dia tahu Sehun. Gara-gara insiden menangis di telepon, lelaki itu pasti nekat terbang ke Shanghai tidak peduli bagaimana kondisinya, dan Irene cukup menyesal atas itu.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Kau tidak perlu ke sini." Irene berusaha meyakinkan Sehun.

"Lalu kenapa kau menangis seperti itu kemarin?" Sehun terdengar kesal.

"Hanya ada sedikit masalah, tapi sudah kuatasi. Aku janji akan memberitahumu saat datang. Tapi ingat, kau hanya boleh datang ke sini setelah pengobatanmu selesai."

"Kau benar-benar ingin melihatku gila, ya?"

Irene mencoba tertawa dan berhasil.

"Maaf sudah membuatmu cemas," ujarnya kemudian.

"Tapi kau sungguh baik-baik saja, 'kan?"

"Ya, aku baik-baik saja." Irene menahan sesak di dada.

"Baiklah, aku memercayaimu."

Kerongkongan Irene terasa pahit. Jelas tidak ada yang baik-baik saja di sini. Janin tanpa Ayah di kandungannya, rasa mual sepanjang waktu, dan tak ada nafsu makan. Bahkan dari semua itu tak ada yang bisa ia ungkapkan pada Sehun.

"Apa aku boleh mengatakan ini? Ini benar-benar menggangguku." Sehun membuka topik baru, suaranya terdengar ragu bercampur frustasi.

"Apa itu?"

"Berapa hari yang lalu aku...."

Ada jeda sebentar dan Irene semakin penasaran.

"...melihat Suho keluar dari bar. Kau yakin dia ikut Jisoo pindah ke Mokpo?"

Irene tak langsung menyahut. Dia mencoba meresapi ucapan Sehun.

"Kau pasti salah lihat," tepisnya kemudian.

Dua lembar tiket penerbangan beratasnamakan keduanya, juga beberapa sertifikat aset berlokasi di Mokpo sudah cukup membuatnya yakin.

"Kuharap begitu. Penampilannya acak-acakan. Dia juga terlihat mabuk berat saat naik ke taksi."

Irene tak ingin membahasnya lebih panjang. Lagi pula, Sehun pasti salah orang. Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, Irene memutuskan turun di swalayan tak jauh dari apartemennya.

Di dapur tak ada apa pun yang bisa dimakan, tapi dia tak cukup berselera untuk makan sendirian di luar. Gelap mata, ia memasukkan beberapa bungkus mie instan dan aneka camilan serta minuman ke keranjang belanja. Tiba-tiba saja dia ingin menyantap semua itu tanpa merasa bersalah dengan janin di kandungannya.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang