Sudah genap dua bulan Jisoo kembali menginjakkan kakinya di Seoul. Tinggal di sebuah share house bersama dengan dua wanita lainnya bernama Jennie dan Lisa. Sebelum bergabung dengan ERALUV, Jisoo bekerja di sebuah coffe shop. Kini, ia bekerja di dua tempat sekaligus. Pagi hingga sore bekerja di ERALUV dan malam harinya bekerja di coffe shop.
Setidaknya itulah informasi yang didapat Suho dari kerja keras Chanyeol beberapa minggu belakangan. Suho memang memberi tugas khusus pada sekertarisnya itu untuk menyelidiki Jisoo.
"Kau yakin di sini tempatnya?"
Suho bertanya pada lawan bicaranya di seberang telpon. Pandangannya mengamati bangunan mungil berlantai dua. Terdapat sebuah tiang dengan papan nama bertuliskan "Bella Epique". Dari luar rumah terdapat tangga yang langsung membawa ke lantai atas.
"Tidak salah lagi, Hyung," jawab Chanyeol.
"Tapi, kenapa rumahnya gelap, seperti tidak ada orang. Ini kan sudah jam sepuluh malam."
"Hyung, kau tidak hidup di zaman dinasti-dinasti dulu yang ketika malam wanita sudah harus berada di rumah."
"Atau aku langsung ke cafe tempat Jisoo bekerja saja, ya?"
Terdengar helaan napas. "Lakukan sesukamu, Hyung. Ini sudah bukan jam kerjaku. Aku ingin istirahat."
Suho yang berada di dalam mobil membulatkan mata saat melihat sosok wanita yang dikenalinya berjalan memasuki halaman rumah. Tanpa mengindahkan ucapan Chanyeol, Suho langsung memutuskan sambungan telponnya.
Pandangan Suho bisa menangkap gestur letih wanita itu. Bahkan, sebelum membuka pintu di lantai dua, wanita itu terlebih dahulu duduk di anak tangga teratas sembari memukul-mukul betisnya.
Menyaksikan keadaan Jisoo yang seperti itu berhasil membuat hati Suho perih. Suho merasa gagal. Padahal, ia telah mengorbankan seluruh hidupnya demi Jisoo. Dia bahkan rela berpisah agar wanita itu bisa hidup lebih baik. Tetapi, ia bisa menyimpulkan bahwa selama ini Jisoo hidup di bawah penderitaan. Tidak ada yang menjadi lebih baik, dan semuanya karena Suho yang telah datang dalam hidup Jisoo.
Ketika Suho larut dalam perasaan bersalah, ponselnya berdering. Nama Irene terpampang di layar. Suho membiarkannya sejenak, hingga kemudian menjawab panggilannya dengan helaan napas.
"Ada apa?" sahutnya malas.
"Suho, kamu di mana?"
"Bisakah kau menjawab pertanyaanku dulu."
"Ah, maaf. Aku sedang berada di rumahmu. Nenek memintaku menghubungimu agar segera pulang. Memangnya kamu lagi di mana?"
Lagi-lagi, Suho menghela napas.
"Aku di kantor, masih banyak kerjaan," dustanya.
"Begitu, ya." Irene terdengar kecewa.
"Yah, dan kalau kau tidak keberatan aku mau menyelesaikan pekerjaan dulu."
"Lanjutkanlah pekerjaanmu. Maaf, sudah mengganggu."
"Tidak perlu minta maaf."
Suho hendak memutuskan sambungan telponnya.
"Suho, jangan bekerja terlalu keras. Istirahatlah kalau kau lelah. Jangan sampai sakit."
Suho terdiam sejenak.
"Hm. Kau juga hati-hati saat pulang," ucapnya.
Sambungan telpon pun terputus. Suho memandang kosong di layar ponselnya.
Bae Irene.
Wanita itu kadang membuatnya serba salah. Memang tidak ada alasan baginya untuk membenci Irene. Suho juga bukan lelaki bodoh yang tidak peka akan sikap Irene yang mulai berbeda padanya. Dia sadar Irene perlahan menunjukkan perasaan sayang padanya. Tetapi, Suho belum siap bahkan mungkin tidak bisa membuka hatinya untuk perempuan lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
REACH YOU
FanfictionMenggapaimu... Mungkin suatu hal yang mustahil. Namun, bisakah aku tetap berharap? - Irene Irene bukan wanita jahat. Dia hanya seorang wanita yang mencintai tunangannya, Suho, dengan segenap hati. Perjodohan ini mungkin hanyalah kesepakatan antara d...