DUA PULUH DELAPAN

3.3K 286 49
                                    

Mobil sport kuning yang dikendarai Suho berhenti di depan rumah Irene. Setelah melewati malam panas yang cukup melelahkan, Suho dan Irene pun kembali ke rutinitas masing-masing. Mendedikasikan diri pada perusahaan yang mereka jalankan.

Irene yang sudah siap ke kantor mau tidak mau harus kembali ke rumah mengambil dokumen yang ia simpan di meja kamarnya.

"Tidak apa-apa hanya kuantar sampai sini?" tanya Suho.

"Tentu saja. Nanti biar sopir yang antar ke kantor."

Sebelumnya, Suho sudah bilang akan mengantar Irene sampai di kantor, tetapi apa daya saat di perjalanan Chanyeol menelpon, memintanya agar segera ke hotel karena ada pertemuan dadakan dengan para petinggi perusahaan. Dan buruknya, ERALUV tidak searah dengan hotelnya.

"Ya sudah, kalau sampai kantor jangan lupa kabari aku," pinta Suho.

Rona merah di kedua pipi Irene mencuat tatkala pemuda itu mendaratkan kecupan manis di keningnya. Rasanya seperti ia belum terbangun dari mimpi indahnya sejak semalam.

Senyum kecil enggan beranjak dari wajah Irene, bahkan saat ia menjejakkan kaki ke dalam rumah. Pikiran nakalnya kembali memutar peristiwa semalam ketika tubuh mereka saling menyatu. Menyaksikan betapa menggairahkannya otot-otot perut Suho ketika bergerak di atasnya.

Namun, langkah Irene sontak terhenti. Senyumnya sekejap sirna tatkala melintasi ruang makan, menyaksikan "keluarga"-nya yang sudah berkumpul di sana.

"Dari mana saja kau?" tanya Ibunya dengan sinar mata yang merajam Irene.

"Aku menginap di apartemenku," sahut Irene, mencoba tak gentar.

"Semalam dia pasti lembur di kantor, makanya pulang ke apartemen karena lebih dekat. Iya kan, Irene?" timpal Tuan Oh yang tadinya sibuk dengan tablet pc di genggamannya.

Irene hanya mengangguk, sama sekali tidak terkesan dengan aksi heroik Ayah sambungnya yang berhasil membungkam Ibunya.

"Ayo sarapan sama-sama," kata Tuan Oh lagi.

"Maaf, aku hanya mau mengambil berkas di kamarku dan segera ke kantor."

"Ke kantornya nanti saja. Kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini. Apalagi pekan depan Sehun mau pindah ke Cina."

Deg!

Sontak pandangan Irene menukik ke arah Sehun yang sibuk menyantap sarapan. Sejak tadi pemuda itu memang tidak memedulikan kehadirannya —tepatnya, sejak beberapa hari yang lalu sikap Sehun berubah sangat dingin padanya.

Ibunya kemudian menarik kursi di sebelahnya, menimbulkan suara gesekan marmer pada lantai. Secara tidak langsung memerintah Irene agar segera duduk di sana, tanpa membangkang.

"Keadaan anak perusahaan Oh Company di Cina sedang tidak bagus, jadi Sehun akan mengambil alih semua pengelolaannya," tutur Ibunya.

Irene tak menyahut. Pelan-pelan ia mendekat dan akhirnya melekatkan duduknya di kursi. Entah mengapa ia merasa yang didengarnya barusan bukanlah sebuah kabar yang baik.

"Kau pasti senang kan, tidak ada lagi yang mengganggumu?" Sehun mendesis, sama sekali tidak mengalihkan fokus pada makanannya.

"Sampai kapan dia di sana?" tukas Irene, tetapi tatapannya tajam ke arah Tuan Oh.

"Dari awal, perusahaan di Cina memang kupersiapkan untuknya, dan sekarang waktu yang tepat dia menunjukkan kemampuannya. Jadi, dia akan menetap di sana, tapi tetap boleh pulang sesekali ke Korea."

Irene melirik Sehun yang sama sekali tidak memberi respon. Mungkin sedikit sok tahu, tetapi ia merasa ada satu titik di mana raut pemuda itu tampak sendu. Entahlah, sepertinya Sehun pasrah menerima keputusan Ayahnya.

REACH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang