EMBUN
Aku sudah berjalan sejauh ini, melakukan segala upaya untuk mencapai apa yang aku inginkan, dan bisa dikatakan aku sudah berhasil memiliki apa yang aku inginkan.
Alhamdulillah aku sedang berada di puncak karirku, berhasil dalam beberapa kasus tentunya dengan bantuan tim yang luar biasa. Aku mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman di bawah bantuan para senior di kantor, bahkan bisa dibilang saat ini kantor kecil yang dirintis oleh Mas Rama, yang awalnya hanya ada dia dan dua lainnya, kini mulai berkembang. Kantor ini mulai dapat kepercayaan dari klien-klien besar yang tentunya juga membutuhkan perjuangan besar.
Tapi...Aku merasa aneh dengan diriku sendiri.
Dulu sewaktu baru mulai bekerja, semangatku begitu besar untuk mencapai posisi saat ini, bayanganku aku akan merasa bahagia karena merasa sudah berhasil mencapai posisi ini, tapi anehnya, aku merasa hampa.
Bukan aku tidak bersyukur, aku sangat bersyukur karena bisa mencapai posisi saat ini, bisa mengurus banyak kasus besar, bekerja sama dengan rakyat biasa hingga pejabat, semua memberi kesan tersendiri. Tapi kenapa rasanya seperti ini? Tidak semenakjubkan yang aku bayangkan. Apa yang salah dari semua ini?
"Mbak Bening!!"
Lamunanku buyar karena panggilan seseorang yang kini sudah berdiri di depan mejaku, sore ini sepulang kerja aku sengaja mampir ke sebuah Cafe, aku pengin menyendiri sebentar.
Aku terkejut dengan sosok yang ada di depanku ini. "Rey! Kok di sini?" tanyaku sambil celingukan ke kanan dan kiri Rey, biasanya dia tidak sendirian.
"Bang Iyas nggak ikut, Mbak! Nggak usah dicari!" ujarnya dibarengi dengan tawa renyah. Kemudian dia meminta izin untuk bergabung di mejaku.
"Biasanya kayak upin dan ipin!" jawabku pelan.
Rey tertawa lagi sembari tangannya sibuk mengolak-alik menu. Beberapa saat kemudian dia mendapatkan apa yang dia inginkan dan langsung memesannya.
"Mbak Bening nunggu seseorang? Kok makannya masih utuh?" tanya Rey saat melihat pesananku masih utuh di atas meja.
"Iya, nunggu seseorang yang sangat aku nantikan, tapi sepertinya dia tidak akan hadir di sini!" jawabku pelan.
"Siapa sih? Kepo!"
"Mas muazin." jawabku.
Tawa Rey menggema begitu saja membuat orang-orang terdekat kami menoleh. "Mau aku adzan di sini?" tawarnya dengan sisa tawa.
Aku hanya tertawa pelan menanggapinya, tadinya aku pengin sendiri tapi kehadiran Rey tidak mengganggu. "Eh tapi kenapa kamu bisa di sini Rey?" tanyaku setelah ingat tadi belum mendapat jawaban.
Rey tersenyum lebar sembari mengaduk kopinya. "Dua hari lalu aku boyong ke sini, Mbak! Dapat kerjaan di sini. Belum mulai aktif, ya sudah aku muter-muter dulu memahami daerah sini, eh ketemu Mbak Bening di sini." jawabnya.
"Beneran?"
Rey mengangguk dan meyakinkan aku lagi, dia juga menjelaskan tempat kerja sekaligus tempat tinggalnya selama di sini, cukup jauh sih dari rumah bude.
"Makanya, kalau kesepian bisa calling saya, Tante! Berondong manis siap menemani!" ucapnya penuh kesombongan yang tentu aku cibir dengan keras.
Selanjutnya aku dan Rey banyak membicarakan seputar daerah sini dan kerjaan masing-masing, sampai tak terasa ponselku bergetar menandakan waktu maghrib tiba, cafe ini terletak di pinggir jalan raya, amat minim kalau mau mendengar adzan dari masjid terdekat, jadi kali ini pakai adzan jalur aplikasi.
Karena sibuk berdoa dan berbuka puasa, aku sampai tidak sadar apa yang dilakukan berondong depanku ini. Tau-tau dia tertawa sendiri sambil berbicara dengan ponselnya. Dan aku lupa kalau anak Om Nazril ini selalu punya tingkah aneh, ternyata dia sedang melakukan panggilan video dengan Mas Ilyas. Tanpa aba-aba langsung memberikan ponselnya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
10. Saktah
Romance"Belajar apa hari ini Gus, dengan anak-anak?" "Tajwid. Anak-anak belajar Bacaan istimewa dalam al quran, bacaan gharib." "Kenapa membaca al quran harus dengan tajwid, Gus?" "Perintah Allah. Agar kita menjaga kemurnian Al quran, melafadzkan sesuai h...