Saktah #28 : Keputusan Embun

5.2K 790 229
                                    

Aku masih menunggu kedatangan Fathin, rencana menjemputnya di Solo berubah karena kebetulan dia dapat travel ke sini. Kurang lebih dua jam menunggu, aku melihat dia berlari dengan menggendong ranselnya.

Dengan napas yang terengah dia berbicara, "Mas saya minta maaf ya udah ngerepotin banget, saya udah mentok soalnya nyari transportasi ke Blitar yang bisa saat ini juga. Saking bingungnya sampai nggak tau mau gimana, tiba-tiba terlintas Mas Ilyas, saya coba minta tolong, entah bagaimana caranya yang penting saya bisa pulang sekarang, naik motor juga nggak apa-apa."

"Iya, nggak apa-apa. Saya lagi agak santai. Ini mau langsung berangkat?"

Masih sambil mengatur napasnya, Fathin menjawab, "Kalau boleh sekarang aja Mas, saya pengin segera lihat bapak."

Arsha yang sedang jajan di salah satu warung harus rela meninggalkan kopinya kemudian dia mengambil alih kemudi, dan berangkat menuju Blitar.

Perjalanan ke tujuan lebih banyak di dominasi oleh aku dan Arsha sedangkan Fathin lebih banyak diam di belakang, tapi sibuk dengan ponselnya, dia terlihat sangat mengkhawatirkan bapaknya.

"Kamu di Solo ngapain?" tanyaku.

"Ada acara kampus Mas, berangkat bareng pakai bus, makanya saya bingung sekali ketika di telepon kakak saya bahwa bapak jatuh di kamar mandi dan sekarang sebagian tubuhnya nggak bisa bergerak." jawab Fathin dengan suara parau.

"Sebelumnya ada riwayat darah tinggi, Mbak?" Arsha ikut bertanya.

"Bapak saya itu susah kalau berurusan dengan dokter, bagi bapak kalau sakit itu ya cuma masuk angin. Kerokin sama minum obat warung, selesai. Ini kali pertamanya sakit sampai gejala berat begitu." jawab Fathin.

"Di rumah tinggal sama siapa?" Aku ikut bertanya lagi.

"Sama ibu dan keluarga kakak, Mas! Tapi ibu juga udah stroke sejak dua tahun lalu,"

Aku ikut prihatin dengan nasib Fathin, ternyata di balik keceriaan dan banyak omongnya, dia punya beban yang cukup berat. Terlebih lagi sekarang kedua orang tuanya sakit, dan dia kuliah jauh dari rumah, pasti pikirannya makin kacau.

Perjalanan selanjutnya aku kembali ngobrol ngalor ngidul dengan Arsha, membiarkan Fathin tidur dan baru membangunkannya ketika masuk kota Blitar agar dia bisa menunjukkan arah rumah sakit tempat bapaknya di rawat.

Begitu bertemu kakak lelakinya, Fathin langsung menghambur ke pelukannya. Sesaat suasana menjadi sedih sampai Fathin pamit masuk untuk melihat keadaan bapaknya, sedangkan aku dan Arsha duduk di ruang tunggu bersama kakaknya.

Seperti pada umumnya, hal pertama adalah perkenalan dilanjut ngobrol ringan, aku menanyakan keadaan bapaknya.

"Terimakasih sekali ya Mas Ilyas dan Mas Arsha, merepotkan sekali antar Fathin ke sini. Bapak lebih dekat sama Fathin daripada ke saya, jadi ketika sadar tadi yang ditanya Fathin terus." ujar kakak Fatin yang bernama Andi.

"Sama-sama Mas, semoga bapaknya segera di angkat penyakitnya dan bisa pulih seperti sebelumnya." Doaku tulus untuk bapaknya Fathin dan mendapat amin yang sama tulusnya dari Mas Andi.

Sebelum pulang, aku dan Arsha masuk dulu ke kamar rawat untuk menjenguk sekaligus pamit pada Fathin dan keluarganya.

"Mas, boleh merepotkan sekali lagi?" tanya Fathin.

"Kenapa?"

Fathin mengambil air mineral berukuran  besar dan menyerahkannya padaku. "Saya tau semua doa yang tulus pasti Allah ijabah, tapi kalau yang doa dzuriyah Kyai, insyaallah kecepatannya maksimum. Saya minta doa untuk bapak." ujarnya.

10. SaktahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang