Saktah #35 : Penyakit Wajib

6.7K 837 72
                                    

Masa-masa pengantin baru sudah usai tapi bahagianya tetap, nggak usai, malah tambah terus.

Tak terasa dua bulan berlalu, waktu terasa cepat karena benar kata Mas Iyas, setelah pulang dari Bandung, kami disibukkan dengan persiapan acara resepsi yang sesuai jadwal semula, dibarengkan dengan acara khataman tahunan dan haul.

"Mbak Embun, boleh jujur nggak?"

"Jujur aja Mbak Ais, masa jujur dilarang!"

Mbak Aisyah salah satu pengurus panti Al Ikhlas tertawa geli mendengar jawabanku. Saat ini aku duduk santai dengannya setelah berhasil menyuruh anak-anak panti untuk tidur di kamar masing-masing.

"Sejak Mbak Embun di sini rasanya lebih lancar aja gitu jalannya panti, kemarin-kemarin kita cuma dipasrahi sama Mas Ilyas dan Mas Rey, intinya mereka nggak banyak ikut campur, percaya gitu aja sama kita, tapi terkadang kita malah jadi nggak enak, mau begini takut salah, mau begitu takut keliru, mau minta pertimbangan Mas Ilyas atau Mas Rey nggak mudah, beliau berdua kan pasti juga sibuk, nggak tiap hari bisa kesini, akhirnya kalau mau ada rencana apa gitu nggak cepet terlaksana. Sebenarnya karena kadang takut juga sih mau ngomong sama Mas Ilyas. Tadi kita rasan-rasan kalau udah mantep aja gitu mau ini itu, soalnya tinggal diskusi sama Mbak Embun yang sering di sini. Kita anggap wakilnya Mas Ilyas dan Mas Rey."

Entah kenapa ucapan Mbak Aisyah membuatku terharu, ternyata dimanapun berada jika bertindak dengan tulus, kehadiran kita akan bermanfaat dan diterima baik.

Awalnya aku ragu ketika Mas Iyas menyuruhku sering main ke sini, lama-lama aku merasa senang, melihat wajah-wajah lugu penuh tawa dari anak panti menimbulkan kesan bahagia tersendiri.

Sejak beberapa waktu yang lalu, entah bagaimana awalnya, aku jadi sering kesini, ikut dalan forum kecil pengurus panti, membahas segala macam urusan panti, dan malah sering dimintai pertimbangan, awalnya aku canggung karena tidak niat ikut mengurus panti tapi sekarang dari ucapan Mbak Aisyah, aku jadi paham kenapa mereka seperti senang ada aku di sini.

"Maaf ya Mbak, seharusnya Mbak Aisyah dan yang lain langsung jalan aja kalau ada rencana apa-apa gitu, kan Mas Iyas sama Rey udah percaya."

Mbak Aisyah tersenyum manis. "Iya sih Mbak, tapi ada beberapa hal yang memang susah kami putuskan sendiri. Pokoknya Mbak Embun harus di sini terus, biar ada yang menjembatani kita sama Mas Ilyas. apalagi itu Naura, nempel terus sama Mbak Embun."

Aku ikut tersenyum sambil menatap bocah kecil yang tertidur di pangkuanku. Naura baru berumur dua tahunan, manjadi anak panti terkecil. Dia sebenarnya masih punya ayah, ibunya meninggal beberapa bulan yang lalu. Sang Ayah yang berprofesi sebagai sopir travel antar kota harus sering meninggalkannya, akhirnya anak manis ini dirawat di sini walaupun melawan kebijakan, bahwa yang di urus di sini adalah yang bener-bener sudah nggak ada orangtua. Rey yang mengetahui cerita pilu anak ini dan kenal akrab dengan ayahnya, akhirnya setelah mendapat persetujuan dari semua, Naura tinggal di sini ketika ayahnya pergi kerja.

"kasihan dia, pasti rindu ibunya," jawabku pelan karena tiba-tiba merasa sedih melihat Naura yang tertidur pulas.

Perlahan aku mengangkat Naura, memindahkannya ke kasur agar tidurnya lebih nyaman.

Tak berselang lama kemudian, Mas Iyas datang. Aku mulai menikmati kegiatanku sekarang, berangkat bareng dan diantar ke panti, dan siang atau sore dijemput saat dia sudah selesai dari kampus.

Aku curiga, diam-diam Mas Iyas berkonspirasi, sengaja membuat aku nyaman di panti hingga aku lupa niat kerja lagi. Tapi emang dasarnya aku suka juga sih, jadi nggak ada keterpaksaan.

"Mas Ilyas kayaknya nggak usah sering kesini nggak apa-apa, udah ada Mbak Embun." ujar Mbak Aisyah yang dibarengi tawa.

"Embun nya yang nggak mau kalau nggak ada saya," jawab Mas Iyas yang semakin membuat Mbak Aisyah tertawa tapi tak  punya bahan lagi untuk ngobrol.

10. SaktahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang