Suhu sembilan belas derajat celsius dan kelembapan udara 95%, sudah cukup sekali alasan untukku memakai pakaian tebal ditambah jaket, masih dilengkapi syal agar semakin menambah rasa hangat.
Sehabis sholat subuh tadi, aku sengaja menyendiri keluar rumah mencari udara segar. Sebenarnya aku tidak sendiri, karena di sini, di atas dedaunan yang hijau ada banyak sekali embun-embun kecil yang menemaniku.
"Embun, dipanggil Papa!"
Belum puas aku menikmati pemandangan pagi ini tapi harus kembali karena mama menyusulku.
Sambil merapatkan tanganku sendiri, aku mengikuti langkah mama dan langsung melihat papa yang sudah duduk di depan rumah. Begitu sampai aku duduk di samping mama, berhadapan dengan papa.
Papa tidak langsung bicara melainkan menatapku dengan tajam.
"Kamu kok nggak kapok ya main rahasia-rahasiaan sama Papa dan mama?" tanya papa.
"Iya kamu ini! Nggak anggap kami ini orangtua kamu, sampai ada masalah sama Ilyas nggak mau cerita?" imbuh mama dengan ekspresi yang sama seriusnya dengan papa.
Aku masih terdiam, mencoba membaca keadaan.
"Ilyas sudah menemui Papa waktu itu, menjelaskan apa yang terjadi. Papa tunggu kamu sampai hari ini kok nggak ada cerita apapun. Papa pengin dengar dari versi kamu sendiri." ujar papa lagi.
Papa menarik napas sebagai tanda kesal karena aku tak kunjung menjawab.
"Papa hafal sekali sifat kamu yang keras kepala dan kritis. Tapi kita ini manusia biasa yang pasti bisa salah. Setidaknya kamu harus cerita kalau ada masalah biar ada yang memberikan pandangan lain, jadi kamu nggak semata-mata menuruti ego kamu sendiri."
Papa masih terus memberikan siraman rohani untukku, tambah mama yang juga tak mau ketinggalan. Intinya pagiku yang segar langsung terkontaminasi, karena papa dan mama tak berhenti memberi tausiyah.
"Udah selesai, Pa? Ma?" tanyaku yang membuat kedua orang tuaku itu terkejut. "Kembalikan KTP Embun, Ma!" ucapku lagi sambil membuka tangan di depan mama.
Selanjutnya papa dan mama langsung berubah ekspresi dari yang tadinya serius sekarang tertawa.
"Yahh! Gagal Pa mau ngerjain Embun!" ujar mama.
"Kita lupa, Sayang! Kalau anak kita ini terbiasa adu strategi, susah dikibulin." imbuh papa.
Keduanya tertawa lagi membuat aku harus menghela napas panjang, mengisi kesabaran menghadapi kekonyolan mereka.
"Jadi kamu udah tau ya tentang rencana Ilyas?" tanya mama yang diakhiri ringisan pelan.
"Nebak aja sih, dari kemarin gelagat Mama sama papa nggak biasa." jawabku.
Mama berdiri untuk mengambil KTP ku kemudian menyerahkan nya padaku.
"Papa dan mama ini yang main rahasia-rahasiaan sama Embun!" ucapku ketika menerima KTP.
Mama kemudian tertawa dan meminta maaf sambil merangkul pundakku. "Siap kan, Sayang?" tanya mama.
Aku beralih menatap matanya kemudian berganti ke papa yang sama teduhnya. Mereka memberiku kekuatan tersendiri.
"Insyaallah, walaupun kesel sih! Majuin pernikahan tapi akunya nggak dikasih tau." jawabku.
Papa mencibirku. "Bilang aja seneng, secara dari kecil udah Ilyas aja penutannya!"
Bener sih! Walaupun kesel tapi bahagia..
Ya. Akad nikahku dimajukan atas permintaan Mas Ilyas. Dan mungkin rencana mereka mau ngasih kejutan ke aku, tapi ya gimana kalau aku udah bisa nebak duluan?

KAMU SEDANG MEMBACA
10. Saktah
Любовные романы"Belajar apa hari ini Gus, dengan anak-anak?" "Tajwid. Anak-anak belajar Bacaan istimewa dalam al quran, bacaan gharib." "Kenapa membaca al quran harus dengan tajwid, Gus?" "Perintah Allah. Agar kita menjaga kemurnian Al quran, melafadzkan sesuai h...