Saktah #19 : Penggembala

4.2K 749 174
                                    

ILYAS

Segigih-gigihnya Rey, aku tetap tidak menyangka pergerakannya akan secepat ini. Aku hampir tak percaya minggu depan dia beneran akan mewujudkan keinginan nya melamar Shanum.

Berminggu-minggu berlalu setelah kedatanganku ke Jombang waktu itu, Rey bercerita kalau Shanum masih menolaknya meskipun dia sudah meyakinkan wanita itu. Dan barusan tadi dia menelepon untuk laporan padaku tentang Embun sekaligus menyombongkan diri bahwa Shanum mulai membuka hatinya, dan Rey berencana melamar wanita itu saat keluarga bertolak ke Jombang.

Kebetulan minggu depan keluarga Semarang akan mengadakan ziarah bersama ke makam wali, dalam rangka syukuran atas terpilihnya Luham—suami Alea sebagai kepala desa di daerahnya.

Rencananya kita akan ziarah dan berhenti di Jombang, jalan-jalan sekaligus melancarkan Rey. Semoga diberi kelancaran, dan ketularan. Amin.

Berkaitan dengan rencana ziarah tadi, maka minggu ini aku sengaja memadatkan materi kuliah agar minggu depan bisa mengosongkan jadwal. Maka dari itu, hari ini aku baru bisa pulang lewat dari jam delapan, karena setelah dari kampus, aku ke panti dulu.

"Baru pulang, Yas?" tanya abi begitu aku masuk rumah dan mencium tangan beliau.

"Iya, Bi! Ke panti sebentar tadi."

Abi menikmati teh malamnya sambil melihat berita di televisi.

Aku melirik abi yang nampak tenang menonton, sejak perjodohan ku dengan Jihan gagal, baik abi maupun simbah tidak pernah lagi membahas perihal pernikahan. Sebenarnya aku merasa senang, tapi ada juga rasa penasaran sekaligus rasa khawatir kalau mereka kecewa padaku tapi enggan untuk menegur karena aku yang terlalu santai memikirkan pernikahan.

Padahal kalau saja abi tau, bukannya aku santai, aku sedang muter tasbih kenceng agar doaku menembus langit. Hanya saja semua doa dan keinginanku biar Allah saja yang tau, tak perlu aku siarkan.

"Abi, dulu susah nggak meluluhkan hati umi?"

Abi menoleh dengan kening berkerut, mungkin heran karena aku tiba-tiba bertanya seperti itu. Tetapi walaupun terheran, abi tetap menjawab, "Susah-susah gampang, umi pemalu banget, susah menebak isi hatinya."

"Lalu bagaimana akhirnya umi mau nikah dengan Abi yang tak lain adalah sepupu sendiri?"

Sebelum menjawab abi melepas pecinya kemudian meletakkannya di meja. "Dulu sebenarnya Nenda Biya sempat tidak merestui, beliau takut kalau Abi nikah sama umi terus ada masalah, nanti yang bermasalah nggak cuma Abi dan umi tapi bisa keluarga juga ikutan pecah secara kita keluarga dekat. Tapi Abi coba lagi dan coba lagi sampai akhirnya alhamdulillah nenda kasih restu. Setelah itu Abi gaspol untuk mepet umi sama Simbah Hanif, ya akhirnya nikah."

"Umi mau begitu saja?"

"Ya jelas tidak! Kalau umi mau begitu saja, umur kamu pasti lebih tua dari sekarang!"

Aku berdecak tapi abi malah tertawa. Sempat juga bawa-bawa umur Si Abi ini.

"Dulu sewaktu Abi melamar, umi mengajukan beberapa syarat. Kebetulan waktu itu umi baru saja wisuda S1 dan khatam 30 juznya. Umi mau tabarukan dulu dan juga kerja. Ya awalnya Abi agak mikir keras dong! Masa pengantin baru langsung ditinggal tabarukan 40 hari dan itupun jauh, di Kediri setelah itu masih minta kerja juga. Bukan soal mencari uangnya, mungkin umi ingin merasakan pengalaman dunia kerja itu bagaimana. Tapi yang namanya menikah kan bukan berarti membatasi pasangan ya, jadi Abi setuju, apalagi itu untuk kebaikan umi juga."

"Berapa lama dulu umi kerja?"

"Lupa, pokoknya Abi biarkan saja sesuka hati umi yang penting tetap bisa mawas diri. Abi tidak pernah melarang umi bekerja, tapi lambat laun umi bisa merasakan sendiri, bisa memilih sendiri mana yang lebih prioritas, pada akhirnya umi berhenti kerja dengan sendirinya tanpa Abi paksa."

10. SaktahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang