Saktah #38 : Kembali Jadi Pengacara

5.9K 832 58
                                    

EMBUN

Punya saudara ipar yang kompak dalam banyak hal itu sesuatu yang harus disyukuri. Azkia Isnaini Mubarak, wanita yang usianya dua tahun di bawahku ini bisa menjadi teman akrab bagiku di rumah ini. Mulai dari curhat, belanja dan kulineran.

Seperti sore ini selepas sholat ashar, aku yang baru pulang dari panti sudah membawa beberapa jenis makanan dan tentu saja Kia menjadi patner terbaik.

Sate taichan, lumpia, nasi goreng dan salad buah sudah tertata rapi di karpet.

"Orang ngidam beda-beda ya, Mbak? Umi pernah cerita dulu pas hamil aku ngidamnya nggak bisa makan."

Aku mengangguk sambil makan lumpia. "Alhamdulillah, Ki! Mbak malah mual kalau laper!"

Acara makanku bareng Kia terinterupsi karena kedatangan umi Salma.

"Embun, ada ojek datang itu, kamu yang  pesen?"

Aku mengangkat pandangan ke umi yang baru saja datang dari pondok putri sambil tersenyum malu. "Iya, Umi."

Kia ikut kaget. "Mbak Embun masih ada pesen makanan lagi?"

Sambil tertawa malu aku menjawab, "tadi pas mampir di tempat jajan nggak ada pisang, terus cari online."

Umi menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sedangkan aku dengan menahan malu berjalan keluar menemui ojol yang mengantar makanan pesananku.

Aku masuk dengan membawa pisang nugget pesananku dan duduk kembali bersama Kia, kini umi juga bergabung.

Sambil tertawa geli melihat kelakuanku, umi berkata, "Umi seneng kalau lihat orang hamil tapi mau makan banyak banget,"

"Mbak Embun kemarin kan pas sholat pingsan, Umi! Gara-gara nggak bisa nahan laper!" sahut Kia yang membuat umi Salma mengalihkan pandangannya padaku, terlihat jelas kekhawatiran beliau.

"Ya Allah, terus nggak sakit kan? Kok bisa sih sampai kelaparan begitu? Ilyas kemana?" desak umi.

Aku melirik Kia yang tertawa tanpa dosa. "Mas Iyas ada kok Umi, kita lagi jamaah isya. Waktu pulang dari rumah Tante Ralin itu kan malem banget, kita baru isya, tiba-tiba laper banget sampai pingsan. Belum hafal aja kebiasaannya, ternyata nggak bisa banget kelaparan."

Umi kembali tertawa. "Alhamdulillah, mulai sekarang stok makanan yang banyak!"

"Siap, Umi!"

Kia ikut bersorak gembira karena dia juga ikut kebagian. Sejak kejadian aku pingsan malam itu, Mas Iyas menyediakan banyak makanan di kamar, udah mirip banget sama koperasi pondok, alhasil Kia tambah rajin menyambangi kamar untuk ikut ngemil.

Sepeninggal umi, aku dan Kia meneruskan acara makan besar. Entahlah, rasanya pengin makan terus, sampai di usia kehamilanku yang baru sembilan minggu ini, aku sudah naik tiga kilo. Atas dasar kebiasaan ini juga dengan berat hati aku harus putus puasa daud.

"Aku juga mau ikut menggendut bareng Mbak Embun," ujar Kia di sela-sela makannya tapi aku menangkap ekspresi lain darinya.

"Motivasi kamu apa mau gendut di saat kebanyakan gadis pada diet?"

Kia masih sibuk menikmati sate taichannya. "Biar Hanan nggak suka, terus gagal nikah!" jawab Kia tanpa rasa canggungnya sedikitpun.

Aku meletakkan sendokku dan menatap Kia penuh iba, pada akhirnya dia akan menikah dengan Hanan karena Yusuf tidak berani maju.

"Ki, kamu berhak menolak kalau memang tidak bisa!"

Sambil menunduk mengaduk-aduk sambal, dia menangis tapi buru-buru mengusap air matanya, takut ada yang lihat.

10. SaktahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang