"Gue udah kehilangan dia, Adis..."
"Demi lo."
Gladis kehilangan kata-kata untuk saat ini. Mulutnya seakan keluh untuk mengeluarkan sepata kata, ia hanya diam mematung mendengar ucapan laki-laki itu. Dapat ia rasakan pelukan laki-laki itu semakin erat. "Maksudnya?"
Biar gimanapun Gladis belum tau dimana arah pembicaraan Daffa sekarang. Ia belum ngerti arti dari kehilangan yang laki-laki itu sebutkan.
"Gue udah kehilangan Vanya."
Beberapa kata itu membuat tubuh melemas. Vanya?
Daffa melepas pelukannya secara tiba-tiba. Pandangan matanya menajam mengunus di kedua bola mata Gladis yang tak tertentu arah.
"Gue udah ngelakuin hal yang seharusnya kan?" Suara cowok itu memelan, rambutnya terlihat acak-acakan. Matanya yang tadi menajam dengan sekejab berubah jadi sendu, ia menatap Gladis lama.
Karena rasa takut, dan juga rasa bersalah yang menggoroti tubuh Gladis. Gladis menunduk. Ia bingung harus bagaimana. Haruskah ia menyalahkan dirinya? Semua ini salahnya.
Tanpa sadar, sudut bibir Daffa terangkat. Kedua tangannya terangkat menggapai kedua bahu Gladis. "Dis."
"Istri gue itu, Lo."
Gladis langsung mendongak, hingga matanya yang berkaca-kaca itu bertubrukan langsung dengan mata milik Daffa yang terlihat indah. Cowok itu kembali membuka mulut.
"Selamanya jadi istri gue yah." Setelah suara terdengar serius itu keluar dari bibir Daffa. Tanpa di sangka, tangis Gladis pecah saat itu juga. Ia langsung menghambur di pelukan laki-laki itu.
"Maaf." Tubuh cewek itu bergetar karena tangis, persis seperti Vanya tadi. "Maafin gue."
Daffa membalas memeluk cewek itu, sangat dalam seorang lelaki memancarkan kehangatan lewat pelukan. "Berhenti nangis."
"Perempuan, gue "
Cowok itu menepuk-nepuk kepala belakang Gladis, dan menumpuhkan dagunya pada kepala cewek itu. Herannya, seharusnya yang nangis dirinya karena habis putus cinta. Tapi, kenapa harus cewek itu?
Gladis terisak, di satu sisi ia merasa bersalah dengan Vanya. Di sisi lain juga Daffa menunjukkan seolah dirinya adalah orang yang penting. Daffa menghargainya sebagai istrinya. Dengan memutuskan Vanya, apakah itu artinya dirinya penting?
Daffa mengayunkan dirinya ke samping kanan dan kiri, sambil menepuk-nepuk kepala belakang cewek itu pelan. Seperti seorang Ayah yang menenangkan putri kecilnya "Udaah,"katanya terkekeh pelan.
Daffa memberhentikan gerakannya, ia menunduk dan menggerakkan satu tangannya untuk mengangkat dagu Gladis. Ia tersenyum tipis saat melihat muka menangis cewek itu. "Ingus Lo keluar."
Gladis repleks memukul keras dada cowok itu.
Daffa pura-pura kesakitan. "Suami Lo ini."
"Yang ajarin alay siapa?" Gladis melepas pelukannya, ia mengusap mukanya yang ia tebak memerah.
Daffa merespon dengan senyum tipis, sebelum ia mengubah raut wajahnya ke lebih serius. "Jadi?"
"Lo mau izinin gue, buat belajar cinta sama istri gue?"
🦋🦋🦋
"Kapan kesini? sahabat Lo jahat banget Shak…." Vanya menghapus air matanya yang masih saja menetes sejak Daffa mengantarkannya pulang ke rumah. Mereka berpisah dengan cara baik-baik tapi…kenapa di dalam sana sakit sekali?
'Pengen peluk Lo, tungguin gue.' Dari ponsel yang Vanya pegang, suara lelaki terdengar. Itu, Shaka. Laki-laki itu adalah tempat pulang Vanya sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
KENAPA HARUS DIA? (New Version)
Teen Fiction"Vanya emang Pacar gue, tapi lo..." "Lo istri gue, Glad..." *** Kata Vanya, Gladis itu penghianat... Gladis itu perebut... Gladis itu munafik... Tentang Gladis Shafa Raisha yang harus menikah muda dengan Daffa laki-laki bermata dingin berwajah jutek...