Genap seratus persen

40.9K 4.1K 409
                                    

Bismillahirrahmanirrahim...

Karena aku nyadar kalau aku up nya lama, jadi aku saranin sih baca part sebelumnya. Satu part aja, biar nyambung...

Happy Reading..

Daffa mengendarai mobilnya dengan santai, ia di buat malu jika terus-terusan menafkahi Gladis masih menggunakan uang mamanya. Cukup, Gladis…itu tanggung jawabnya. Tak peduli, mereka masih sekolah apa tidak. Yang jelas, jika di rumah dia seorang suami bukan siswa.

Laki-laki yang masih menggunakan seragam sekolah itu tampak mengukir senyum tipis saat mengingat sebelum mereka menikah. Dimana, keduanya selalu berpikir keras buat mencari alasan yang jelas untuk membatalkan pernikahan mereka.

Lucu, pikir Daffa. Vanya yang berpacaran dengannya selama satu tahun lamanya tapi malah sahabat dekat Vanya yang ia nikahi. Takdir emang selawak itu. Jodoh gak ada yang tau.

Seperti perkiraannya tadi, bahwa sebentar akan turun hujan. Lihat saja sekarang ini, awan yang tadinya cerah di atas sana kini berganti dengan awan hitam yang siap menumpahkan cairan yang membendung di sana. Angin mulai meniup-niupnya membuat awan susah payah menahan air yang ia rengkuh itu.

Daffa tersadar, ia lupa mengambil buku tulisnya di sekolahan. Padahal, besok di kumpulkan. Cowok itu berdecak, ia memutar stir mobilnya agar mengarah ke arah sekolahnya.

Lebih dari 10 menit lamanya. Daffa berhenti mengendari mobilnya pada gerbang sekolah. Ia memicingkan matanya, setelahnya ia mengepalkan tangannya.

Cowok itu tak jadi untuk masuk ke dalam sekolah, melainkan menghampiri kedua orang yang ia lihat di halte itu. Awalnya ia ingin marah, namun melihat bahu cewek itu bergetar, ia segera turun.

Namun saat dia turun dari mobil, matanya bertemu dengan mata berair milik Gladis. Cewek itu menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan.

'Gue nyesel Daf…' Satu kata itu menghentikan langkahnya dengan jantung yang berdetak tak karuan. Ia marah Gladis mengatakan itu.

Daffa mematung, kakinya seakan keluh hanya untuk menghampiri Gladis yang menatapnya penuh penyesalan. Raka, sang pelaku utama yang memanas-manasi keadaan itu berdiri, cowok itu undur diri dengan dengan tersenyum remeh. Meninggalkan keduanya begitu saja.

"Kenapa kita harus sama-sama?" Gladis tetap mengoceh, tatapan matanya terlihat sendu. Daffa masih diam, ada rasa sesal yang ia lihat di kedua mata Gladis.

"Daf…"

Cowok itu berjalan pelan, ia menghampiri Gladis yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya darinya. Tidak, Gladis tidak boleh menyesal mengenalnya.

Gladis berdiri, ia menghapus air matanya kasar. Cewek itu memalingkan wajahnya. "Kenapa harus gue yang di salahin?"

Daffa menelan selivanya kasar. Ia semakin dekat dengan Gladis, hingga keduanya berdiri saling berhadapan. Satu tangannya ia letakkan di salah satu bahu Gladis dan satu tangannya lagi, ia gunakan untuk memegang dagu Gladis. Menuntun gadis itu agar menatapnya kembali seperti tadi.

"Lo gak salah, Adis…" ungkap Daffa pelan.

Gladis menutup matanya erat, ketika tangan Daffa yang tadi memegang dagunya berganti menyentuh wajahnya setiap inci. Cowok itu menyisir wajahnya mengunakan jari secara perlahan. "Hubungan gue sama Vanya dulu, tak seerat hubungan gue sama Lo sekarang."

KENAPA HARUS DIA? (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang