Masih peduli?

59.5K 4.6K 270
                                    

Happy ending!

Eh... HAPPY READING!

****

Tanpa mengucapkan kata apapun lagi, Daffa langsung saja melongos dari sana, meninggalkan kedua sahabatnya yang sama-sama memperlihatkan muka terkejutnya. Abdiel juga tak menyangka Daffa akan mengatakan itu, sungguh mengejutkan, pikirnya.

Fawaz menganga di tempatnya, matanya terus saja terkunci di satu titik di pintu tempat menghilangkan Daffa dari hadapannya. Laki-laki berwajah manis itu, berbalik, kemudian di detik selanjutnya tertawa. Tawanya sungguh keras hal itu mengundang Abdiel melemparkan pulpen ke jidatnya.

Tuk!

"Anj----" Fawaz berhenti tertawa ia menatap kesal ke arah Abdiel yang menahan tawa. "Gue mau marah, tapi ketawain si Dapa lebih penting."

"Anjir tuh anak, lupain Vanya kali yah? Malah haluin sahabat pacarnya lagi." Fawaz memilih duduk lesehan di lantai, melihat itu Abdiel ikut-ikutan duduk di lantai. Kata mamanya, gak sopan.

Abdiel geleng-geleng kepala. "Lo pikir Daffa bohong? Dia benar cuyy!"

Fawaz menampeleng kepala Abdiel keras. "Lo pikir gue percaya, enggak cuuy!" serganya mengikuti gaya bicara Abdiel tadi.

Abdiel berdecak kesal. "Si Daffa udah punya bini, nah bininya itu Gladis!" Laki-laki itu menjelaskan dengan nyolot, kesal juga dengan sahabatnya yang satu itu. Bosan dengan muka bingung Fawaz, Abdiel berdiri kemudian menarik Fawaz.

"Kuy lah, gak usah urusin Daffa, mending ke dedek odi."

"Ab! Ab! Gue tetap gak percaya."

"Lo harus percaya, karena ini benar."

"Gak percaya- gak percaya, gak ada bukti."

🦋🦋🦋

"Gue ngomong apa kalau Lo tau Van?" Gladis berucap lirih, ia mengusap mukanya prustasi, sungguh, otaknya seakan penuh di isi hal-hal yang gak dia inginkan. Lagi pula, kenapa ia harus menikah di usia terbilang cukup muda sih. Apalagi dengan laki-laki yang notabennya selalu sahabatnya curhatkan kepadanya.

Besok, adalah ulangan harian pelajaran bahasa Indonesia. Seharusnya Gladis belajar untuk besok, bukan malah memikirkan hal yang teramat rumit itu.

Cewek yang saat ini menggunakan dress selutut berwarna biru tua itu mengetuk kepalanya sekejab, ia berdiri dari ranjang, kemudian berjalan ke meja belajarnya. 30 menit, semoga ia bisa serius.

Menit demi menit ia lalui, kini harus berakhir ketika suara ketukan pintu masuk ke Indra pendengarannya. Belum sempat ia berdiri, pintu utama sudah terbuka karena orang yang berada di balik pintu memegang kunci cadangannya.

"Adiiis!" Suara laki-laki memanggil namanya cukup keras membuat Gladis tersentak. Cewek itu terdiam, ia tau, Daffa baru saja memutuskan orang yang ia cintai. Apakah dia akan melampiaskan kekesalannya padanya?

Daffa membuang tubuhnya di sofa, ia melepas ikat sepatunya. Decakan kasar keluar dari mulutnya. Sialan, Fawaz sialan. Sungguh sahabatnya itu minta di sleding.

"Adiis!" Sekali lagi, suara itu terdengar. Gladis menghembuskan nafas kasar dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Langkah demi langkah kakinya membawanya ke samping Sofa yang laki-laki itu duduki.

"Apa?" Gladis membuka suara, membuat Daffa berdehem singkat. Cowok itu memberikan tangannya untuk Gladis cium. Tentu saja Gladis melakukannya.

KENAPA HARUS DIA? (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang